- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Sejarah Fiqih dalam Yurisprudensi Islam

Google Search Widget

Dalam sejarah yurisprudensi Islam, fiqih memiliki perjalanan yang panjang dan kompleks. Dr. Abdul Wahab Khallaf membagi perkembangan fiqih ke dalam tiga periode penting. Periode pertama adalah saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, periode kedua terjadi pada masa sahabat setelah Nabi wafat, dan periode ketiga mencakup masa tabi’in, tabi’ tabi’in, serta para imam mujtahid. Setiap periode ini memiliki dinamika yurisprudensinya yang khas.

Sebelum membahas setiap periode, penting untuk memahami definisi fiqih menurut para ulama dan ruang lingkup kajiannya dalam Islam. Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini, yang dikenal sebagai Imam Al-Haramain, mendefinisikan fiqih dalam karyanya Al-Waraqat sebagai berikut:

معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الإجتهاد

Artinya, “Mengetahui hukum-hukum syari’at melalui metode ijtihad.” Dari definisi ini, Imam Jalaluddin al-Mahalli memberikan contoh-contoh seperti mengetahui hukum wajib dalam niat wudhu, hukum sunah pada shalat witir, dan niat malam hari untuk berpuasa Ramadhan sebagai syarat wajib. Semua hukum tersebut diketahui melalui ijtihad para ulama.

Lebih lanjut, Imam Mahalli dalam Syarah Jam’ul Jawai’ mendefinisikan fiqih sebagai:

(و الفقه العلم بالآ حكام) أي بجميع النسب التامة (الشرعية) أي المأخوذة من الشرع المبعوث به النبي الكريم (العملية) أي المتعلقة بكيفية عمل قلبي أ غيره كالعلم بأن النية في الوضوء واجبة و أن الوتر مندوب. (المكتسب) ذلك العلم من أدلنها التفصيلية للأحكام.

Artinya, “Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at Nabi Muhammad SAW yang aplikatif, baik berkaitan dengan pekerjaan hati maupun fisik, seperti mengetahui hukum wajib atas niat wudhu dan hukum sunah atas shalat witir. Pengetahuan itu harus diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci.”

Dalam kitab-kitab ushul fiqih, para ulama membedakan ruang kajian antara fiqih dan ushul fiqih. Fiqih lebih berfokus pada hukum-hukum parsial yang diketahui melalui ijtihad.

Saat membahas fiqih, tidak bisa terlepas dari pembahasan hukum Islam itu sendiri. Menurut Abdul Wahab Khallaf, fiqih terbagi menjadi tiga periode.

Periode pertama adalah ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup. Pada masa ini, hukum-hukum telah terbentuk sejak awal kedatangan Islam, yang mencakup akidah, akhlak, dan hukum atas perbuatan manusia. Rasulullah merupakan satu-satunya rujukan fatwa umat Islam dengan hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hukum pada masa itu.

Periode kedua berlangsung pada masa sahabat Nabi. Meski Rasulullah telah wafat, permasalahan sosial terus berkembang dan hukum Islam harus menyesuaikan diri dengan situasi baru. Dalam periode ini, banyak persoalan agama muncul yang belum ada saat Nabi hidup. Para sahabat pun melakukan ijtihad untuk memutuskan perkara dan memberikan fatwa berdasarkan hukum yang telah ada sebelumnya. Produk hukum saat itu mencakup hukum Allah dan Rasul-Nya serta fatwa sahabat yang bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad.

Periode ketiga meliputi masa tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid di abad kedua dan ketiga Hijriyah. Pada masa ini, perkembangan hukum fiqih menjadi semakin kompleks karena perluasan kekuasaan Islam dan munculnya pemeluk Islam dari berbagai latar belakang sosial dan budaya. Para imam mujtahid dihadapkan pada masalah yang lebih serius dan berupaya memperluas medan ijtihad serta menetapkan hukum syara’ untuk berbagai situasi baru.

Dalam periode ini, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa sahabat, serta hasil ijtihad para imam mujtahid yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Di sinilah terjadi kodifikasi hukum Islam yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas melalui kitabnya Al-Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur. Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa dari sahabat serta tabi’in yang dianggap sahih oleh Imam Malik.

Selanjutnya, Abu Yusuf menyusun beberapa kitab fiqih yang menjadi rujukan di Irak, diikuti oleh Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani dengan kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah. Kemudian Imam Syafi’i menulis kitab Al-Umm di Mesir yang menjadi pijakan dalam fikih mazhab Syafi’i.

Dengan demikian, sejarah fiqih mencerminkan perjalanan panjang pemikiran dan penetapan hukum dalam Islam yang selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 7

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?