Ilmu ushul fiqih memiliki kedudukan yang sangat penting dalam diskursus hukum Islam. Sebagai cabang ilmu, ushul fiqih menjadi rumusan hukum yang logis dan mengikuti perjalanan panjang dalam sejarah yurisprudensinya hingga mengalami kodifikasi yang sistematis.
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami definisi ushul fiqih. Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini, atau yang dikenal sebagai Imam Al-Haramain, mendefinisikan ushul fiqih dalam karyanya Al-Waraqat sebagai dalil-dalil fiqih yang bersifat global. Ini mencakup perintah (al-amr) yang menunjukkan hukum wajib dan larangan (an-nahyu) yang menunjukkan hukum haram. Selain itu, ushul fiqih juga membahas hujah-hujah seperti perbuatan Nabi Muhammad saw, konsensus ulama (ijma), analogi (qiyas), istihsan, dan lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa wilayah kajian ushul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat umum, berbeda dengan kajian ilmu fiqih yang lebih tematik. Usul fiqih juga mencakup penggunaan dasar-dasar hukum syariat yang disepakati oleh empat imam atau yang tidak disepakati oleh semua imam.
Tajuddin as-Subki mengelompokkan komponen dalil dalam ushul fiqih menjadi tujuh pembahasan: kitab, sunnah, ijma’, qiyas, istidlal, ta’arrudl, tarjih (seleksi dalil kontradiktif), dan ijtihad.
Dalam sejarahnya, pada abad pertama, saat Nabi Muhammad saw dan para sahabat masih hidup, belum ada pembicaraan tentang ushul fiqih dengan kaidah-kaidahnya. Hukum Islam diambil langsung dari wahyu ilahi dalam Al-Qur’an. Setelah Nabi saw wafat, para sahabat merujuk pada nash (Al-Qur’an dan hadits) dengan pemahaman bahasa Arab yang orisinil. Mereka memiliki keunggulan karena hidup pada masa Nabi dan mengetahui faktor historis turunnya ayat-ayat.
Namun, seiring dengan meluasnya kekuasaan Islam dan bertambahnya jumlah pemeluk dari berbagai bangsa, orisinalitas bahasa Arab mulai terancam. Ini menyebabkan kerancuan dalam pemahaman nash, sehingga diperlukan pembakuan batasan dan kaidah bahasa untuk menjaga keaslian pemahaman hukum.
Dua arus besar dalam madrasah ushul fiqih kemudian muncul: Ahlu al-Hadits (tekstualis) dan Ahlu al-Ra’yu (rasionalis). Ahlu al-Hadits fokus pada Al-Qur’an dan hadits tanpa melibatkan rasio. Sebaliknya, Ahlu al-Ra’yu menggunakan akal dalam menetapkan hukum dengan prinsip kemaslahatan umat.
Setelah 200 tahun berlalu, ushul fiqih mulai tersebar dalam hukum fikih. Setiap imam mujtahid dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) memaparkan dalil pada setiap hukum yang mereka keluarkan, disertai metode pengambilannya. Imam Abu Yusuf dianggap sebagai orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah ini, meskipun karyanya tidak sampai ke kita. Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dikenal sebagai penyusun kitab kaidah-kaidah ushul fiqih yang sistematis dalam karyanya Ar-Risalah.
Setelah Imam Syafi’i, banyak ulama mulai menyusun kitab ushul fiqih. Dua mazhab penulisannya berkembang: mazhab teolog (ahlu al-kalam) dan mazhab Hanafi. Mazhab teolog mengutamakan pembuktian logis terhadap kaidah-kaidah dengan dukungan dalil. Sementara itu, mazhab Hanafi mengumpulkan kaidah-kaidah dari masalah-masalah furu’ yang telah ada.
Selain dua mazhab tersebut, ada ulama yang mengombinasikan kedua metode. Mereka membuktikan kaidah-kaidah ushul fiqih dan menerapkannya pada masalah furu’. Kitab-kitab terkenal dari penulis dengan pendekatan kombinasi ini termasuk Badi’u an-Nidzam oleh Mudzaffarudin al-Baghdadi al-Hanafi dan Jam’ul Jawami’ oleh Tajuddin as-Subki.
Dalam konteks kontemporer, ada beberapa rekomendasi kitab ushul fiqih yang patut dibaca, di antaranya Irsyad al-Fuhul oleh as-Syaukani, Ushul al-Fiqh oleh Muhammad Hudhari Bik, dan Tashilul Wushul ila ‘Ilm al-Ushul oleh Muhammad Abdurrahman ‘Id al-Mahlawi.