Sejak kecil, Nabi Muhammad SAW sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Setelah menjadi yatim piatu, Beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, yang sangat menyayanginya. Namun, tidak lama kemudian, kakeknya juga dipanggil oleh Allah SWT. Kakek yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih sayang, bahkan lebih dari kasih sayang kepada anak-anaknya sendiri.
Setelah kepergian sang kakek, Nabi Muhammad hidup bersama pamannya, Abu Thalib. Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil dan banyaknya anak dalam keluarga pamannya, Nabi Muhammad yang baru berusia delapan tahun itu menyadari kondisi ekonomi mereka.
Akhirnya, ia meminta izin kepada Abu Thalib dan bibinya, Fatimah binti Asad, untuk bekerja dengan menggembala kambing milik orang Makkah. Awalnya, mereka tidak mengizinkan karena usianya yang masih belia.
Singkat cerita, Nabi Muhammad mendapat restu dari sang paman dan bibi. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa Muhammad kecil memberanikan diri untuk melakukan pekerjaan yang tidak ringan itu:
Pertama, Nabi merasa prihatin dengan kondisi ekonomi keluarga pamannya yang tidak membaik. Dengan menggembala kambing, ia berharap bisa sedikit meringankan beban ekonomi keluarga pamannya. Meskipun masih kecil, kepeduliannya begitu besar. Masa-masa yang seharusnya dihabiskan untuk bermain dan mendapatkan kasih sayang orang tua, justru ia harus membantu perekonomian keluarga.
Kedua, menggembala kambing tidak memerlukan modal. Hanya bermodalkan tenaga, Nabi Muhammad menawarkan jasa kepada orang-orang Arab untuk menggembalakan kambing mereka. Pekerjaan ini sangat cocok baginya yang belum memiliki penghasilan.
Ketiga, seperti anak-anak pada umumnya, Nabi Muhammad senang berada di alam bebas. Ia bisa bekerja sambil bermain, menikmati semilir angin kota Mekah, menatap semesta yang luas, serta melihat rangkaian bintang di malam hari.
Hikmah dan Pelajaran
Nabi Muhammad telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi seorang nabi dan utusan-Nya. Allah ingin mendidik jiwa kepemimpinan pada sang Nabi. Seorang penggembala kambing adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar terhadap kawanan kambingnya. Ia harus memastikan jumlah kambing tetap utuh saat pulang dan setiap kambing terjamin kenyang dengan rumput di padang gembalaan. Dengan terbiasa melakukan hal ini, diharapkan Nabi Muhammad mampu berbuat adil dan bijak ketika diutus menjadi pemimpin umat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali menggembala kambing.” Para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga demikian?” Rasulullah menjawab, “Iya, dulu aku menggembala kambing milik orang Mekah dengan upah beberapa qirath.”
Maksud qirath dalam hadis tersebut adalah sebagian dari dirham. Hikmah para nabi menggembala kambing adalah sebagai bentuk pembekalan skill untuk mengurus umat kelak. Pekerjaan ini akan menempa sifat sabar dan penyayang.
Dengan pengalaman tersebut, Nabi Muhammad dilatih untuk bersabar dalam memimpin umat dan mengetahui beragam karakter serta tingkatan pemikiran rakyat. Hal ini sangat penting agar ia mampu meredam konflik dan mengasihi yang lemah.
Kegiatan menggembala juga membentuk jiwa bersih Nabi. Saat menggembala kambing, ia berada di tempat-tempat alami yang asri. Aktivitas di alam lepas tersebut menjadi kesempatan untuk refleksi diri dan melihat keagungan Tuhan melalui ciptaan-Nya. Nabi Muhammad dapat merenungi kebesaran Allah melalui bentang alam yang luas.
Dengan sering berinteraksi dengan alam, pikiran Nabi Muhammad menjadi jernih sebagai calon pembawa risalah Tuhan. Jiwa dan pikiran yang bersih adalah keharusan bagi pengemban risalah kenabian.
Mengapa Nabi memilih menggembala kambing dan bukan unta? Karena kambing adalah hewan yang tidak dapat ditunggangi seperti unta pada masa itu. Jika Nabi menunggangi unta, bisa jadi ia merasa lebih tinggi dan angkuh dibandingkan sekelilingnya. Sebagai seorang Nabi, sifat-sifat tersebut tidak mungkin dimilikinya. Oleh karena itu, ia hanya menggembala kambing.
Kisah hidup Nabi Muhammad kecil adalah teladan bagi kita semua tentang kepemimpinan, kepedulian sosial, kesederhanaan, serta refleksi diri dalam menjalani kehidupan sehari-hari.