Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menggantikan Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia menulis surat kepada Al-Mughirah ibn Syu’bah, seorang sahabat Nabi, untuk menanyakan doa yang dibaca Nabi Muhammad setelah shalat. Jawaban yang diterimanya adalah doa yang menyatakan pengesaan Allah dan ketergantungan manusia pada-Nya, yang diriwayatkan dalam Hadis Bukhari.
Doa tersebut berbunyi: “Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu.”
Abdul Halim Mahmud, mantan Imam Besar Al-Azhar Mesir, mencatat bahwa doa ini digunakan untuk menunjukkan bahwa semua hal telah ditentukan oleh Allah, seolah tiada usaha manusia berpengaruh. Kebijakan mempopulerkan doa ini pada masa Dinasti Umayyah dinilai banyak pakar sebagai upaya politik untuk melegitimasi tindakan sewenang-wenang penguasa sebagai kehendak Allah.
Namun, pandangan ini tidak diterima oleh banyak ulama. Sebagian menolak dengan keras hingga menyatakan “la qadar” (tidak ada takdir). Quraish Shihab menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam memilih dan bertindak. Jika manusia tidak memiliki kebebasan, mengapa dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya? Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur silakan juga kufur.” (QS Al-Kahf [18]: 29).
Setiap individu bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, pandangan ini juga ditentang karena dianggap meremehkan kekuasaan Allah. Banyak yang berargumen bahwa Allah Maha Kuasa dan menciptakan apa yang dilakukan manusia, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an: “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan.” (QS Al-Shaffat [37]: 96). Ini menimbulkan pertanyaan apakah ayat tersebut berarti Tuhan menciptakan segala tindakan manusia.
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa “Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua.” (QS Al-Insan [76]: 30). Perdebatan ini terus berlangsung di kalangan teolog yang berpegang pada Al-Qur’an, meskipun banyak di antara mereka tidak memahami konteks ayat-ayat tersebut secara utuh.
Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak pernah memperdebatkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para teolog saat ini. Mereka meyakini takdir Allah yang berlaku bagi semua makhluk, termasuk manusia. Keyakinan ini tidak menghalangi mereka untuk berjuang dan mengambil tindakan, tanpa menyalahkan Allah jika mengalami kekalahan.
Sikap Nabi dan para sahabat lahir dari pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an secara menyeluruh, bukan hanya melihat ayat-ayatnya secara terpisah atau sepotong-sepotong. They understood it in the context of the teachings Rasulullah SAW.