Pada zaman pra-Islam, Nabi Muhammad muda dikenal dengan julukan Al-Amin, yang berarti orang yang dapat dipercaya. Julukan ini mencerminkan sifat jujur yang membuatnya dihormati di antara kaumnya. Muhammad memulai kejujurannya dari diri sendiri, yang memberi dampak positif bagi orang-orang di sekitarnya.
Sejak usia 12 tahun, Muhammad sering mengikuti pamannya, Abdul Muthalib, untuk berdagang. Ia bahkan melakukan perjalanan dagang hingga ke negeri jauh seperti Syam (Suriah). Dalam Sirah Nabawiyah, diceritakan bahwa Muhammad berbeda dari pedagang pada umumnya; ia dikenal sangat jujur dan tidak pernah menipu, baik kepada pembeli maupun majikannya. Ia selalu memperhatikan timbangan dan takaran, serta tidak memberikan janji-janji yang berlebihan atau bersumpah palsu. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela dengan ijab kabul, tanpa perlu bersumpah atas nama Tuhan.
Dalam sebuah kisah yang diceritakan KH Nasaruddin Umar dalam “Khutbah-khutbah Imam Besar” (2018), Muhammad pernah berselisih paham dengan seorang pembeli di Syam terkait kondisi barang yang dijual. Pembeli tersebut meminta Muhammad untuk bersumpah demi Lata dan Uzza. Muhammad menjawab, “Aku tidak pernah bersumpah atas nama Lata dan Uzza sebelumnya.” Kejujuran Muhammad menjadi prinsip kuat yang dipegangnya tanpa melibatkan Tuhan, karena ia percaya bahwa kejujuran akan dirasakan oleh orang lain.
Prinsip kejujuran yang diterapkan oleh Muhammad muda kontras dengan fenomena keagamaan simbolik di zaman sekarang. Banyak orang menjadikan agama hanya sebagai simbol tanpa mewujudkannya dalam akhlak mulia sehari-hari. Pemahaman agama sering kali terjebak dalam pandangan hitam-putih dengan tawaran murahnya surga, bahkan melibatkan nama Allah dalam politik demi kepentingan kelompok tertentu.
Nabi Muhammad pernah menekankan pentingnya memulai perubahan dari diri sendiri dengan ungkapan ‘ibda’ bi nafsik. Dalam Al-Qur’an juga terdapat penegasan bahwa cukup dirimu sendiri yang menjadi penentu terhadap perbuatanmu. Ini menunjukkan bahwa individu memiliki peran penting dalam konflik yang muncul akibat kebohongan yang disebarkan, terutama di era digital saat ini di mana informasi mudah diakses dan disebarkan.
Sebagaimana ibadah yang bermula dari individu, sikap jujur pun harus dimulai dari diri sendiri. Kejujuran akan berdampak luas dalam kehidupan, karena setiap ucapan dan tindakan harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Muhammad berasal dari keluarga terhormat, dan ini tercermin dalam karakter pribadinya serta makna yang terkandung dalam nama-nama anggota keluarganya. Muhammad Quraish Shihab dalam “Wawasan Al-Qur’an” (2000) menjelaskan bahwa pemilihan hal-hal tertentu terkait dengan Muhammad bukanlah kebetulan. Misalnya, bulan lahirnya, hijrah, dan wafatnya jatuh pada bulan Rabi’ul Awal.
Nama Muhammad berarti “yang terpuji,” ayahnya bernama Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), serta bidan yang membantunya lahir bernama Asy-Syifa’ (yang sempurna dan sehat). Halimah As-Sa’diyah, wanita yang menyusui Muhammad, dikenal sebagai sosok yang lapang dada dan mujur.
Selain itu, Muhammad juga memiliki kemampuan untuk meredam pertikaian antar-suku. Beberapa kali, ia dipercaya untuk memberikan keputusan penting yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Salah satu contoh paling terkenal adalah ketika beliau berhasil menyelesaikan sengketa terkait renovasi Ka’bah sebelum beliau mulai menyebarkan ajaran Islam.
Ketika masyarakat Makkah merenovasi Ka’bah setelah musibah banjir, mereka bersatu untuk menjaga kehormatan dan kesucian situs peninggalan Ibrahim AS. Pada usia 35 tahun, Muhammad terlibat aktif dalam proyek renovasi tersebut. Namun, ketika tiba saatnya untuk meletakkan Hajar Aswad sebagai tanda peresmian renovasi, muncul perselisihan di antara mereka tentang siapa yang berhak melakukannya.
Muhammad mengusulkan agar siapa pun yang datang paling awal ke lokasi pembangunan pada pagi hari berhak meletakkan Hajar Aswad. Masyarakat setuju dengan usul ini, dan keesokan harinya, Muhammad sendiri yang datang paling awal. Namun, ia menunjukkan sikap rendah hati dengan membentangkan sorbannya untuk meletakkan Hajar Aswad dan mengajak tokoh-tokoh lain untuk turut serta dalam prosesi tersebut.
Kisah ini mencerminkan kejujuran dan kepemimpinan Nabi Muhammad yang menjadi teladan bagi umat manusia hingga saat ini.