Allah SWT menegaskan kedudukan kekasih-Nya, Nabi Muhammad SAW, dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 128. Ayat ini menyatakan bahwa Rasul yang diutus Allah berasal dari kalangan manusia, bukan makhluk lain. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad adalah manusia pilihan yang luar biasa, senantiasa dekat dengan umatnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, satu-satunya yang diingat Nabi adalah umatnya.
Dalam buku Secercah Tinta, Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan penjabaran QS At-Taubah ayat 128. Ayat ini menegaskan keberhasilan dakwah Nabi Muhammad yang selalu menginginkan kebaikan bagi umatnya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128)
Pertama, azizun ‘alaih ma’anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu) menunjukkan bahwa sepanjang hayatnya, yang selalu dipikirkan oleh Nabi Muhammad adalah umatnya. Ia tidak menginginkan umatnya menderita di hari kemudian. Beberapa riwayat menyebutkan ketika Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawa Nabi, perintah tersebut terasa berat baginya karena harus mencabut nyawa manusia yang paling dicintai Allah SWT. Dalam percakapan sebelum pencabutan nyawa, Izrail memberi kabar gembira tentang kesempurnaan dan kenikmatan surga bagi Rasulullah SAW. Namun, Nabi Muhammad merasa sedih dan menderita, sehingga menimbulkan pertanyaan dari Izrail. Nabi bertanya, “Lalu, bagaimana dengan umatku?” Pertanyaan ini menunjukkan betapa dalamnya kepedulian Nabi terhadap umatnya.
Kedua, harishun ‘alaikum (sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu) merupakan ungkapan cinta dan harapan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.
Ketiga, bil mu’minina raufur rahim (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin) menunjukkan betapa dalamnya kasih sayang Nabi kepada kaum beriman.
Akhlak mulia, cinta, dan kasih sayang yang terwujud dalam penjelasan ayat di atas menjadi fondasi dakwah Nabi yang mengedepankan akhlakul karimah. Keberhasilan seorang dai atau mubaligh sangat bergantung pada seberapa besar rasa azizun ‘alaih ma’anittum dalam dirinya. Ini menjadi dasar penting dalam mengajak orang lain ke jalan Allah SWT. Harapan para pendakwah juga tertuang dalam prinsip harishun ‘alaikum tanpa memaksakan kehendak, sementara sifat bil mu’minina raufur rahim harus terus dikedepankan.
Dalam khutbah haji wada’ pada tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad bersabda, “Wahai manusia sekalian, perhatikanlah kata-kataku ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kamu sekalian.” Di hadapan sekitar 144 ribu orang, beliau menegaskan bahwa tidak ada nabi setelahnya dan tidak ada umat setelah mereka.
Tak lama setelah itu, turunlah firman Allah yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu.” (QS al-Maidah: 3). Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar menangis karena merasa risalah Nabi telah selesai dan saat pertemuan dengan Allah sudah dekat. Umar bin Khattab juga tak dapat menahan air matanya. Ketika ditanya mengapa ia menangis, Umar menjawab, “Sesungguhnya sesuatu yang telah sempurna, berikutnya akan berkurang.”