Nabi Muhammad bin Abdullah, yang diutus oleh Allah SWT sebagai Nabi terakhir, memiliki berbagai tanda dan keistimewaan sebelum diangkat sebagai rasul. Karakter pribadinya dan makna dari nama anggota keluarganya turut memberikan gambaran tentang keistimewaannya.
Pemilihan elemen tertentu yang berkaitan dengan beliau diyakini bukanlah kebetulan. Misalnya, bulan lahir, hijrah, dan wafatnya yang jatuh pada bulan Rabi’ul Awal. Nama beliau yang berarti “yang terpuji,” ayahnya Abdullah yang berarti “hamba Allah,” ibunya Aminah yang berarti “yang memberi rasa aman,” serta kakeknya Abdul Muththalib yang bernama Syaibah, menggambarkan sosok bijaksana. Selain itu, wanita yang membantu ibunya melahirkan, Asy-Syifa’, berarti “yang sempurna dan sehat,” dan yang menyusui beliau adalah Halimah As-Sa’diyah, yang berarti “yang lapang dada dan mujur.” Semua nama ini menggambarkan keistimewaan yang berkaitan dengan Nabi Muhammad.
Dalam Al-Qur’an, surat Al-A’raf [7]: 157, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW telah dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menemukan nama beliau tertulis dalam Taurat dan Injil. Ayat tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti Nabi Muhammad adalah mereka yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya, yaitu Al-Qur’an.
Pakar agama Islam mengaitkan hal ini dengan Perjanjian Lama, khususnya dalam Kitab Ulangan 33 ayat 2, yang menyebutkan bahwa Tuhan datang dari Torsina dan menunjukkan cahayanya dari gunung Paran. Gunung Paran diyakini sebagai Makkah, tempat Nabi Ismail bersama ibunya Hajar memperoleh air Zamzam. Dengan demikian, terdapat tiga lokasi penting dalam sejarah wahyu: Thur Sina untuk Nabi Musa, Seir untuk Nabi Isa, dan Makkah untuk Nabi Muhammad SAW. Ini menegaskan bahwa beliau adalah satu-satunya Nabi yang berasal dari Makkah.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 146 juga menegaskan bahwa orang-orang mengenal Muhammad SAW seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Abdullah bin Salam, seorang mantan penganut agama Yahudi yang masuk Islam, pernah menyatakan bahwa mereka lebih mengenal dan yakin akan kenabian Muhammad SAW dibandingkan pengenalan mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.
Menjelang kelahiran Muhammad, Abdul Muthalib dan Aminah merasakan duka mendalam karena kehilangan Abdullah, suami Aminah. Saat Aminah melahirkan di tengah kesedihan tersebut, Abdul Muthalib segera menerima kabar gembira dan membawa bayi itu ke Ka’bah untuk diberi nama Muhammad.
Tujuh hari setelah kelahirannya, Abdul Muthalib mengadakan kenduri dengan menyembelih unta untuk merayakan. Ketika masyarakat Quraisy bertanya mengapa nama bayi itu tidak mengikuti nama-nama nenek moyang mereka, Abdul Muthalib menjawab bahwa ia ingin bayi itu menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.
Keluarga Hasyim, tempat Nabi Muhammad lahir, dikenal sebagai keluarga yang gagah, budiman, dan religius. Di sisi lain, keluarga Umayyah lebih dikenal sebagai politikus ambisius. Sejarawan sepakat bahwa pilihan untuk tugas kenabian jatuh pada keluarga Hasyim, melahirkan sosok Nabi Muhammad yang tidak hanya berwibawa tetapi juga memiliki budi pekerti luhur.