Usamah bin Zaid merupakan salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad yang memiliki hubungan personal yang kuat dengan beliau. Ayah Usamah, Zaid bin Harits, adalah pelayan yang kemudian diangkat menjadi anak oleh Nabi Muhammad. Sementara ibunya, Ummu Aiman, merupakan mantan budak ayah Nabi, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang sangat dihormati oleh Nabi, hingga beliau menganggapnya sebagai ibu keduanya.
Dilahirkan dan dibesarkan di Makkah dalam lingkungan rumah tangga Nabi, Usamah mengenal Islam sejak kecil. Nabi Muhammad sangat menyayangi Usamah, sering kali memangku dia bersama dua cucu kesayangannya, Hasan dan Husain. Dalam sebuah doa, Nabi Muhammad pernah meminta Allah untuk mencintai mereka semua karena kasih sayangnya kepada mereka.
Salah satu momen yang menunjukkan kasih sayang Nabi kepada Usamah terjadi ketika Usamah jatuh dan mengakibatkan luka di keningnya. Nabi mendekati Usamah dan langsung menyesap darah dari lukanya untuk membersihkannya, sehingga Usamah tidak merasakan sakit lagi. Dalam kesempatan lain, Nabi bahkan menunda tawaf ifadah saat haji wada demi menunggu kedatangan Usamah. Tindakan ini membuat beberapa orang Yaman yang hadir merasa heran, mempertanyakan mengapa Nabi menunda tawaf demi seorang Usamah.
Namun, Nabi juga pernah merasa marah dengan tindakan Usamah yang lain. Suatu ketika, Usamah mengejar seorang lelaki musyrik dan membunuhnya meskipun lelaki tersebut telah mengucapkan syahadat. Kejadian ini membuat Nabi sangat sedih dan marah, mengingat bahwa orang yang mengucapkan syahadat sudah dianggap Muslim. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi Usamah dan umat Islam agar tidak mengalirkan darah orang yang telah mengucap syahadat.
Ketika Usamah beranjak dewasa, Nabi Muhammad menunjuknya sebagai panglima perang untuk memimpin pasukan melawan Romawi Timur (Byzantium). Penunjukan ini terjadi pada awal bulan Shafar tahun ke-11 H, saat Usamah berusia 17 atau 18 tahun. Misi ini bertujuan untuk mempertahankan Madinah dari potensi serangan Romawi Timur. Meskipun ada beberapa sahabat yang meragukan kemampuan Usamah karena usianya yang masih muda, Nabi tetap membela keputusan tersebut dengan menegaskan bahwa jiwa kepemimpinan ada dalam diri Usamah.
Usamah kemudian berangkat meninggalkan Madinah, tetapi setelah mendengar kondisi kesehatan Nabi yang semakin memburuk, ia menghentikan perjalanan pasukannya di Jurf. Beberapa saat setelah itu, Nabi Muhammad wafat, dan detasemen Usamah gagal melanjutkan perjalanan. Ia pun kembali ke Madinah dan menangis tersedu di makam Nabi karena kehilangan sosok yang sangat dicintainya.
Detasemen Usamah baru diberangkatkan ke wilayah penduduk Ubna di bawah kekuasaan Romawi Timur pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq. Abu Bakar menghormati penunjukan Nabi dengan berjalan kaki mendampingi Usamah yang berada di atas unta. Saat melepaskan pasukannya yang berjumlah 3.000 prajurit, Abu Bakar memberikan pesan penting untuk berperang di jalan Allah dengan penuh integritas. Ia menekankan agar mereka tidak berkhianat, tidak membunuh anak-anak, orang tua, atau wanita, serta menjaga kelestarian alam.
Pesan-pesan ini menjadi pedoman bagi pasukan dalam menjalankan misi mereka dengan penuh tanggung jawab dan nilai-nilai kemanusiaan.