Qunut nazilah atau yang dikenal sebagai ‘qunut petaka’ merupakan salah satu amalan yang dilakukan ketika umat Islam menghadapi masalah yang berat, seperti bencana alam, tragedi kemanusiaan, dan isu keamanan. Meskipun doa yang dibaca berbeda, praktik qunut nazilah serupa dengan qunut dalam shalat Subuh, di mana ia dibaca sebelum sujud atau setelah i’tidal pada rakaat terakhir shalat wajib lima waktu. Kesunahan qunut nazilah hanya berlaku pada shalat lima waktu dan dianjurkan untuk diamalkan selama bencana menimpa umat Islam. Jika bencana sudah berlalu, maka tidak disunnahkan lagi.
Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama yang mengamalkan qunut nazilah. Beliau memulai amalan ini setelah tragedi ar-Raji dan Bir Ma’unah. Dalam dua peristiwa tersebut, utusan umat Islam yang ditugaskan Nabi Muhammad untuk mengajarkan Islam kepada Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarah serta penduduk Nejd, mengalami pembantaian. Mengacu pada buku “The Great Episodes of Muhammad saw” oleh Said Ramadhan al-Buthy, pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah, utusan Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarah menghadap Nabi Muhammad untuk meminta agar beliau mengirim beberapa sahabatnya untuk mengajarkan Islam di wilayah mereka. Nabi kemudian mengutus sepuluh sahabat – dalam riwayat lain disebutkan enam orang – yang dipimpin oleh Ashim bin Tsabit.
Setelah utusan Nabi Muhammad tiba di desa ar-Raji, mereka dikepung oleh Bani Lahyan. Pasukan Bani Lahyan yang terdiri dari 100 pemanah menawarkan keselamatan jika utusan mau menyerah. Ashim bin Tsabit dan beberapa lainnya menolak menyerah dan dieksekusi di tempat. Sedangkan Zaid bin Datsinah, Abdullah bin Thariq, dan Khubaib bin Adi bersedia menyerah, namun akhirnya mereka juga dibunuh oleh tuan-tuan yang membeli mereka sebagai balasan atas kematian tokoh-tokoh musyrik Makkah dalam Perang Badar.
Beberapa hari kemudian, seorang kepala suku Bani Amir, Abu Bara’ Amir bin Malik Mula’ib al-Asinnah, mendatangi Nabi Muhammad dan meminta agar beliau mengirimkan beberapa sahabat untuk mengajarkan Islam di wilayah Najd. Meskipun awalnya khawatir akan nasib utusannya, Nabi Muhammad akhirnya setuju setelah mendapatkan jaminan perlindungan dari Abu Bara’. Dia kemudian mengutus 70 orang yang dikenal sebagai ‘al-Qurra’. Sayangnya, utusan tersebut dibunuh oleh Amir bin Thufail saat tiba di Bir Ma’unah, dengan hanya satu orang yang selamat, yaitu Amr bin Umayyah al-Dhamri.
Amr kembali ke Madinah dan memberi tahu Nabi Muhammad tentang tragedi tersebut. Nabi merasa sangat sedih atas kehilangan sahabat-sahabatnya dalam dua tragedi yang terjadi hampir bersamaan. Di bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah, Nabi Muhammad berdoa agar Allah memberikan balasan kepada para pengkhianat setiap Shalat Subuh selama sebulan penuh. Doa inilah yang dikenal sebagai qunut nazilah atau ‘qunut petaka’, yang hingga kini diamalkan khususnya saat umat Islam menghadapi persoalan berat.
Perlu dicatat bahwa pengkhianatan tersebut bukan dilakukan oleh Abu Bara’, melainkan oleh anak saudaranya Amir bin Thufail. Setelah peristiwa itu, Abu Bara’ memerintahkan anaknya untuk membunuh Amir sebagai bentuk tanggung jawab atas kegagalan menjamin perlindungan bagi utusan Nabi. Namun, Amir justru terluka dan berencana untuk membunuh Nabi Muhammad. Dalam perjalanan menuju Madinah, Amir tertular penyakit dari seorang perempuan dan meninggal di padang pasir.
Praktik qunut nazilah terus menjadi bagian penting dalam kehidupan umat Islam, sebagai bentuk pengharapan dan permohonan kepada Allah SWT ketika menghadapi masa-masa sulit.