Rasulullah adalah seorang guru yang sangat memahami keadaan para sahabatnya. Beliau menyampaikan ajaran dan materi kepada semua sahabat agar dapat diamalkan, namun ada pengetahuan tertentu yang hanya diberikan kepada sahabat tertentu berdasarkan keadaan, pemahaman, kecerdasan, dan intelektualitas masing-masing.
Terkait dengan hukum ciuman suami-istri saat berpuasa, Rasulullah memberi jawaban yang berbeda kepada dua sahabat yang menanyakan hal tersebut. Dalam riwayat Imam Ahmad dalam kitab Musnad, diceritakan bahwa seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah apakah boleh mencium istrinya saat berpuasa. Rasulullah dengan tegas menjawab tidak boleh.
Beberapa saat kemudian, seorang sahabat tua menanyakan hal yang sama. Kali ini, Rasulullah mengizinkan ciuman tersebut. Para sahabat yang hadir merasa heran dan saling bertukar pandang. Rasulullah menyadari kebingungan mereka dan menjelaskan, “Aku tahu kenapa kalian saling tatap. Ketahuilah, sungguh orang tua itu lebih bisa menguasai diri (hawa nafsunya).”
Pernyataan tersebut membuat para sahabat paham mengapa Rasulullah memberikan jawaban yang berbeda untuk situasi yang sama. Beliau melarang pemuda melakukan ciuman karena khawatir akan memicu tindakan lebih lanjut, seperti hubungan intim, mengingat pemuda cenderung kesulitan mengendalikan hawa nafsunya. Sebaliknya, sahabat tua diperbolehkan melakukannya karena Rasulullah yakin ia mampu mengendalikan dirinya dan tidak akan tergoda untuk melakukan hal-hal yang lebih jauh.
Dengan demikian, jawaban Rasulullah mencerminkan pertimbangan berdasarkan keadaan orang yang bertanya, menunjukkan kebijaksanaan dalam memberikan fatwa sesuai dengan konteks dan karakter individu.