Pada suatu ketika, Rasulullah mengirimkan surat kepada Kaisar Romawi Timur, Flavius Heraclius Augustus. Dihyah bin Khalifah al-Kalbi ditugaskan untuk menyampaikan surat tersebut yang mengajak Kaisar Heraclius untuk masuk Islam. Setelah menerima Dihyah, Kaisar Heraclius merasa penasaran dengan sosok Rasulullah. Ia kemudian menggelar majelis yang dihadiri oleh para pembesar Romawi dan mengundang Abu Sufyan bin Harb beserta kafilah Quraisy yang sedang berdagang di Syam.
Dalam pertemuan tersebut, Kaisar Heraclius mengajukan berbagai pertanyaan kepada Abu Sufyan mengenai Rasulullah. Ia ingin mengetahui siapa yang paling dekat nasabnya dengan Nabi dan Abu Sufyan menjawab bahwa ia adalah orang yang paling dekat, meskipun pada saat itu ia belum memeluk Islam dan merupakan penentang dakwah Nabi.
Kaisar mengawali pertanyaannya dengan menanyakan tentang nasab Rasulullah. Abu Sufyan menjelaskan bahwa Rasulullah memiliki nasab yang baik dan terpandang. Menanggapi hal ini, Heraclius mengatakan bahwa nasab para rasul sebelumnya juga terpandang. Ia kemudian mempertanyakan apakah ada orang lain yang pernah menyampaikan perkataan seperti yang disampaikan oleh Rasulullah. Abu Sufyan menjawab tidak ada.
Kaisar juga bertanya tentang latar belakang keluarga Rasulullah, apakah ada di antara bapak-bapaknya yang menjadi raja. Abu Sufyan menjawab tidak ada, dan Heraclius menyatakan bahwa jika Rasulullah adalah keturunan raja, ia hanya menuntut kembali kerajaan leluhurnya. Selanjutnya, Kaisar menanyakan tentang pengikut Rasulullah, apakah mereka dari kalangan terpandang atau orang-orang lemah. Abu Sufyan menjawab bahwa pengikut Rasulullah adalah orang-orang yang lemah, yang disambut oleh Kaisar dengan pernyataan bahwa memang demikianlah para rasul biasanya memiliki pengikut.
Kaisar juga menanyakan jumlah pengikut Rasulullah, apakah bertambah atau berkurang. Abu Sufyan menyatakan bahwa jumlah mereka terus bertambah, dan Kaisar menanggapi bahwa iman juga demikian, semakin sempurna seiring waktu. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada orang yang keluar dari agama setelah memeluknya karena marah kepada Rasulullah. Abu Sufyan membenarkan bahwa tidak ada hal tersebut terjadi.
Kaisar mengajukan lebih banyak pertanyaan terkait karakter Rasulullah. Ia menanyakan apakah mereka pernah menuduh Nabi berbohong sebelum beliau menyampaikan wahyu. Abu Sufyan menjawab tidak, dan Kaisar Heraclius menyatakan bahwa ia yakin Rasulullah tidak mungkin berdusta kepada manusia dan Allah. Ketika ditanya apakah Rasulullah berkhianat, Abu Sufyan menjawab bahwa selama ia bergaul dengan Nabi, mereka tidak pernah mendapati hal itu.
Kaisar Heraclius kemudian menanyakan tentang peperangan yang terjadi antara kaum Quraisy dan Rasulullah. Abu Sufyan menjelaskan bahwa peperangan itu silih berganti, kadang mereka menang, kadang Nabi yang menang. Pertanyaan terakhir dari Kaisar adalah tentang apa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka. Abu Sufyan menjawab bahwa Nabi mengajak mereka untuk menyembah Allah semata, meninggalkan tradisi nenek moyang mereka, serta melaksanakan shalat, membayar zakat, bersedekah, menjaga kehormatan diri, dan menjalin silaturahim.
Kaisar Heraclius mengakhiri pertemuan tersebut dengan menyatakan bahwa jika apa yang dikatakan Abu Sufyan benar, maka Rasulullah akan menguasai wilayah di mana mereka berdiri saat itu. Dalam catatan hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Heraclius mengungkapkan keinginannya untuk bertemu dengan Rasulullah jika ia tahu akan sampai pada masa itu, serta ingin mencuci kaki Nabi sebagai tanda hormat.
Dialog ini mencerminkan bagaimana tokoh-tokoh besar pada masa itu berusaha memahami ajaran dan karakter Rasulullah serta dampaknya terhadap masyarakat saat itu.