Rasulullah tidak pernah menyimpan dendam terhadap para penentangnya, meskipun tindakan mereka sangat keterlaluan. Berbeda dengan pendahulunya, beliau tidak pernah berdoa agar Allah membinasakan musuh-musuhnya. Sebaliknya, Rasulullah berdoa agar mereka yang menentang Islam mendapatkan hidayah, atau anak-anak mereka kelak menjadi Muslim. Doa beliau dikabulkan Allah, dengan beberapa penentang Islam yang anak-anaknya justru menjadi pejuang terdepan dalam menegakkan agama Allah.
Salah satu contohnya adalah Al-Aswad bin Abd Yaghuts, yang meski menentang Rasulullah, memiliki anak-anak yang masuk Islam. Abdurrahman, anaknya, dikenal sebagai perawi hadist dari para sahabat Rasulullah. Sedangkan Khalidah, anak perempuannya, dikenal sebagai sosok yang shalehah di Madinah. Selain keduanya, ada pula Miqdad bin Amr, yang merupakan anak angkat Al-Aswad dan ikut serta dalam dakwah awal Rasulullah.
Contoh lainnya adalah Al-Harits bin Qais al-Sahmi. Meskipun ia mengolok-olok Rasulullah dan menolak Islam karena takut kehilangan posisinya di Mekkah, semua anaknya justru menjadi Muslim yang tangguh. Mereka tercatat sebagai pahlawan Islam yang gugur di medan perang seperti Abu Qais bin Harist dan Abdullah Al-Harist.
Kemudian ada Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang munafik yang berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Namun, semua anaknya justru menjadi sahabat setia Rasulullah, termasuk Hubab yang ikut dalam berbagai peperangan penting.
Abu Amir bin Rahib adalah contoh terakhir. Ia menolak tegas ajakan Rasulullah untuk masuk Islam dan berada di garis terdepan pasukan kafir pada perang Uhud. Namun, anaknya, Hanzhalah, memeluk Islam dan menjadi pejuang yang gugur di medan perang setelah menikah.
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” tidak selalu benar. Anak-anak para penentang Rasulullah tersebut tidak mengikuti jejak orang tua mereka, melainkan menjadi pembela setia agama Islam.