- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Isra’ dan Mi’raj: Peristiwa Penting dalam Sejarah Islam

Google Search Widget

Isra’ dan Mi’raj adalah dua peristiwa besar yang telah mengubah pandangan masyarakat terhadap Islam, bahkan hingga membuat sebagian umat merasa ragu dan bimbang. Setelah menyampaikan kisah perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, serta dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha, Rasulullah Muhammad Saw. menghadapi perubahan sikap yang signifikan dari masyarakat Arab Makkah. Banyak di antara mereka yang awalnya beriman, tiba-tiba mempertanyakan kebenaran perjalanan tersebut. Jarak tempuh yang jauh, sekitar 1.500 kilometer, dan waktu yang diperlukan untuk perjalanan tersebut—yang bisa memakan waktu hingga 40 hari dengan unta—menjadi alasan bagi sebagian orang untuk meragukan informasi yang disampaikan Nabi. Beberapa orang yang pernah mengunjungi Palestina bahkan menolak mentah-mentah cerita tentang perjalanan tersebut, terutama mengenai Mi’raj, yang berlangsung ke tempat yang belum pernah dikunjungi manusia sebelumnya.

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam Al-Anwarul Bahiyah menyatakan bahwa peristiwa luar biasa tidak dapat diukur dengan logika. Isra’ adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Isra’ Mi’raj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha, tempat yang belum pernah disinggahi oleh siapapun.

Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan fisik atau hanya ruhani. Namun, pendapat yang lebih diterima adalah bahwa perjalanan tersebut bersifat fisik, bukan sekadar pengalaman ruhani. Dalam Al-Kautsar Al-Jari, Ahmad bin Ismail Al-Kaurani menekankan hal ini.

Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa perjalanan Nabi bukan hanya dalam bentuk ruh atau mimpi terdapat pada penggalan pertama surat Al-Isra’, yang menyatakan bahwa Allah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Penggunaan kata “hamba” menunjukkan bahwa yang diperjalankan adalah sosok manusia secara utuh, baik ruh maupun jasad.

Membahas Isra’ dan Mi’raj sebagai peristiwa penting, tentu muncul berbagai pendapat. Banyak yang meyakini kebenarannya, sementara ada pula yang mengingkarinya. Namun, aqidah Ahlussunah wal Jamaah menegaskan pentingnya meyakini peristiwa ini. Mengingkari Isra’ dapat mengarah pada kekufuran karena telah dinyatakan secara tegas dalam teks-teks syariat. Sedangkan pengingkaran terhadap Mi’raj dapat mengakibatkan seseorang menjadi fasik, mengingat terdapat berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai peristiwa ini.

Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri menjelaskan bahwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa didasarkan pada teks Al-Quran dan ijma’ ulama, sehingga mengingkarinya adalah tindakan kufur. Sementara itu, Mi’raj dari Masjidil Aqsa ke langit ketujuh berdasarkan hadits yang lebih beragam penerimaannya. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap Mi’raj tidak membawa seseorang pada kekufuran, melainkan pada kefasikan.

Dengan demikian, peristiwa Isra’ dan Mi’raj dalam aqidah Ahlussunah wal Jamaah merupakan hal yang penting dan harus diyakini. Setiap bulan Rajab, penganut ajaran ini merayakannya sebagai bentuk ekspresi kebahagiaan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga informasi ini bermanfaat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?