- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Isra’ dan Mi’raj: Perbedaan Pendapat dalam Sejarah Agung

Google Search Widget

Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW adalah Isra’ dan Mi’raj. Peristiwa ini merupakan perjalanan panjang yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia dalam hal proses dan kejadiannya, tetapi tetap merupakan fakta yang harus diyakini. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina, sedangkan Mi’raj adalah peristiwa di mana Nabi Muhammad dinaikkan melintasi lapisan-lapisan langit hingga ke Sidratul Muntaha. Semua ini terjadi dalam tempo waktu yang singkat, hanya dalam satu malam.

Sejarah agung ini diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, yang berbunyi:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya, “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS Al-Isra’: 1).

Berdasarkan ayat tersebut, para ulama sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj benar-benar terjadi dan merupakan salah satu mukjizat Rasulullah yang harus diyakini oleh umat Islam. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bagaimana kejadian tersebut berlangsung. Dalam kesempatan ini, akan dibahas kisah Isra’ dan Mi’raj menurut pandangan Sayyidah Aisyah.

Salah satu riwayat yang berbeda datang dari Sayyidah Aisyah, yang menyatakan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj hanya terjadi dengan ruh Rasulullah, sementara jasadnya tidak ikut serta. Riwayat ini ditulis oleh Imam Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah-nya:

حَدّثَنِي بَعْضُ آلِ أَبِي بَكْرٍ: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تَقُولُ: مَا فُقِدَ جَسَدُ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَلَكِنّ اللّهَ أَسْرَى بِرُوحِهِ

Artinya, “Telah bercerita kepada saya sebagian keluarga Abu Bakar, dari Aisyah ra bahwa sesungguhnya ia telah berkata: ‘Jasad Rasulullah SAW tidak diberangkatkan, tetapi Allah SWT hanya memperjalankan ruhnya.’” (Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah).

Selain riwayat Aisyah, ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa Isra’ dan Mi’raj hanya terjadi dalam mimpi tanpa melibatkan jasad Rasulullah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh sahabat Abu Sufyan ketika ditanya tentang perjalanan Rasulullah:

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ: حَدّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ الْأَخْنَسِ: أَنّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، كَانَ إذَا سُئِلَ عَنْ مَسْرَى رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ كَانَتْ رُؤْيَا مِنْ اللّهِ تَعَالَى صَادِقَةً

Artinya, “Ibnu Ishaq berkata: ‘Telah bercerita kepada saya Ya’qub bin Utbah bin Mughirah bin Akhnas, sesungguhnya ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan ditanya tentang Isra’ Rasulullah SAW, ia menjawab bahwa hal itu adalah mimpi dari Allah Ta’ala yang benar.’” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah).

Meskipun ada dua pendapat yang menyatakan bahwa perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad hanya melibatkan ruhnya tanpa jasadnya, mayoritas ulama berpegang pada pendapat bahwa peristiwa tersebut terjadi dengan ruh dan jasad Rasulullah.

Imam Abul Fadl Iyadh bin Musa al-Yahshubi atau Imam Qadhi Iyadh menulis bab khusus untuk membantah pendapat yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj hanya melibatkan ruh. Ia berargumen bahwa Sayyidah Aisyah tidak melihat langsung peristiwa tersebut karena saat itu ia belum berstatus sebagai istri Nabi dan masih sangat muda. Ia menyatakan:

وَأَمَّا قَوْلُ عَائِشَةَ: مَا فُقِدَ جَسَدُهُ، فَعَائِشَةُ لَمْ تُحَدِّثْ بِهِ عَنْ مُشَاهَدَةٍ لِأَنَّهَا لَمْ تَكُنْ حِيْنَئِذٍ زَوْجهُ وَلَا فِي سِنِّ مَنْ يَضْبِطُ

Artinya, “Adapun perkataan Sayyidah Aisyah, yaitu: ‘Tidak diberangkatkan jasadnya’, ketahuilah bahwa Aisyah tidak menceritakan nabi berdasarkan persaksiannya karena saat itu ia bukanlah istrinya dan juga belum baligh.”

Menurut Imam Qadhi Iyadh, usia Sayyidah Aisyah saat itu hanya delapan tahun jika mengikuti pendapat Az-Zuhri, yang mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi satu tahun setengah setelah diangkatnya Nabi Muhammad menjadi nabi. Oleh karena itu, pendapat yang disandarkan kepada Sayyidah Aisyah tidak dapat dijadikan pijakan.

Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mencatat dalam kitabnya bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad Rasulullah SAW:

وَقَدْ اِخْتَلَفَ السَّلَفُ بِحَسَبِ اخْتِلاَفِ الْاَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فَمِنْهُمْ مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ الْإِسْرَاءَ وَالْمِعْرَاجَ وَقَعَا فِي لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ فِي الْيَقْظَةِ بِجَسَدِ النَّبِي وَرُوْحِهِ بَعْدَ الْمَبْعَثِ

Artinya, “Para ulama salaf berbeda pendapat tergantung riwayat yang sampai. Sebagian ada yang berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada satu malam di waktu sadar dengan jasad dan ruhnya setelah diangkat menjadi nabi.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berpedoman pada pendapat yang disandarkan kepada Sayyidah Aisyah mengenai Isra’ dan Mi’raj tidak dapat dibenarkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan mayoritas pendapat ahli hadits dan mayoritas ulama lainnya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?