Pada masa awal kemunculan Islam di Makkah, Rasulullah Muhammad saw beserta kaumnya dari Bani Hasyim dan Muthalib mengalami pemboikotan yang dilakukan oleh suku Quraisy. Pemboikotan ini terjadi sekitar tahun ke-7 kenabian, tepatnya pada bulan Muharram, sebagai bagian dari strategi politik kaum Musyrik Makkah. Para pemimpin Quraisy, seperti Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Umayyah bin Khalaf, merasa terancam dengan perkembangan dakwah Rasulullah yang semakin pesat. Mereka khawatir dengan ajaran Islam yang menekankan tauhid dan menolak penyembahan berhala, yang merupakan praktik agama nenek moyang mereka.
Sebelum pemboikotan ini, beberapa tokoh besar Quraisy telah memeluk Islam, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Bani Hasyim dan Muthalib bersatu untuk melindungi Nabi Muhammad sebagai keturunan klan Muthalib. Kemarahan kaum kafir Quraisy meningkat seiring dengan semakin gencarnya dakwah Rasulullah. Mereka tidak senang dengan ajaran Islam yang mengajak mereka meninggalkan penyembahan berhala dan beralih kepada penyembahan Allah swt. Pembesar Quraisy khawatir bahwa ajaran ini akan mengancam posisi mereka sebagai pemimpin politik dan ekonomi di Makkah.
Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah mencatat bahwa salah satu penyebab pemboikotan adalah karena Umar bin Khattab dan Hamzah memeluk Islam. Keduanya membela Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, serta menyebarkan ajaran Islam di kalangan kabilah Quraisy. Dalam upaya menjaga stabilitas politik, suku Quraisy mengadakan rapat di kampung Bani Kinanah untuk merencanakan konspirasi melalui perjanjian yang ditujukan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
Perjanjian tersebut membuat kaum Muthalib dan Hasyim menderita. Mereka diboikot dari aktivitas perekonomian, perdagangan, dan aspek kehidupan lainnya. Dalam Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam mendokumentasikan empat poin penting dalam boikot tersebut. Pertama, suku Quraisy tidak boleh menikahi wanita-wanita dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Kedua, mereka tidak boleh menikahkan putri-putri mereka dengan orang-orang dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Ketiga, mereka dilarang menjual apa pun kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Keempat, mereka tidak boleh membeli barang-barang dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
Perjanjian boikot ini ditulis di atas selembar papan yang digantung di Ka’bah. Tindakan ini diinisiasi oleh Baghidh bin Amir bin Hasyim, seorang tokoh Quraisy yang menentang penyebaran agama Islam. Tujuannya adalah untuk memaksa Bani Hasyim dan Bani Muthalib meninggalkan Nabi Muhammad serta kembali kepada ajaran nenek moyang. Akibat pemboikotan yang ketat ini, klan Bani Hasyim dan Muthalib terisolasi dari dunia luar.
Kondisi menjadi semakin parah ketika cadangan makanan habis. Kaum Musyrik tidak membiarkan bahan makanan masuk ke Makkah; jika ada yang berhasil masuk, mereka akan segera membelinya agar Bani Hasyim dan Muthalib tidak bisa mendapatkan makanan tersebut. Hal ini mengakibatkan kelaparan yang sangat parah bagi mereka.
Al-Mubarakfury menggambarkan penderitaan Rasulullah dan kaumnya akibat boikot tersebut. Mereka terpaksa memakan daun kering dan kulit hewan untuk bertahan hidup, bahkan suara tangisan wanita dan anak-anak yang kelaparan terdengar dari balik perkampungan Abu Thalib. Suatu ketika, Hakim bin Hizam, keponakan Khadijah, datang membawa gandum untuk bibinya. Namun, ia dicegat oleh Abu Jahal yang melarangnya membawa gandum tersebut sehingga keduanya terlibat dalam perselisihan.
Selama tiga tahun berlangsungnya pemboikotan ini, suku Quraisy sama sekali tidak peduli dengan keadaan Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka tidak memberikan bantuan apa pun meskipun banyak di antara mereka yang sakit atau kelaparan. Pemboikotan ini bertujuan untuk menghentikan dakwah Rasulullah dan mengisolasi beliau beserta para pengikutnya.