Dakwah Nabi Muhammad di Makkah menghadapi berbagai tantangan, dari pendekatan yang diam-diam hingga yang terang-terangan. Semua itu menuntut pengorbanan tenaga, harta, dan jiwa, terutama ketika menghadapi penyiksaan dari kalangan Quraisy. Salah satu sahabat yang merasakan kesulitan tersebut adalah Mush’ab bin ‘Umair. Meskipun tidak tercatat waktu kelahirannya, diperkirakan saat wafat di Perang Uhud pada tahun ketiga Hijriyah, umurnya sekitar 40 tahun. Sebagaimana dikemukakan Ibnul Atsir dalam Usdul Ghabah, jarak umurnya dengan Nabi Muhammad sekitar 14 tahun.
Di Makkah, Mush’ab dikenal sebagai pemuda yang tampan dan menawan. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya, sehingga ia terbiasa mengenakan pakaian mewah dan sandal berkualitas tinggi. Ibunya bahkan menggunakan minyak wangi terbaik untuknya. Dalam al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah memuji Mush’ab, “Saya belum pernah melihat siapa pun di Makkah yang lebih baik akhlaknya, lebih rapi pakaiannya, dan lebih diberkahi daripada Mush’ab bin Umair.”
Saat Nabi mulai menyerukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, beberapa sahabat senior mulai menganut ajaran Islam. Namun, gangguan dari Quraisy semakin parah. Nabi Muhammad memilih bersembunyi di rumah al-Arqam di daerah Shafa untuk mengajarkan ayat-ayat Al-Quran, dan jumlah kaum Muslimin pun meningkat hingga mencapai 40 orang pada tahun kelima kenabian.
Mush’ab hidup di tengah masyarakat yang terjebak dalam tradisi Jahiliyah, di mana mabuk-mabukkan dan penyembahan berhala menjadi hal biasa. Dengan pikiran yang jernih, ia menyadari bahwa perilaku kaumnya tidak benar, dan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad adalah kebenaran. Tanpa ada yang mengajaknya, Mush’ab datang sendiri ke rumah al-Arqam untuk menyatakan keislamannya, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqah al-Kubra. Ia merahasiakan keislamannya dari keluarganya, termasuk ibunya yang sangat memanjakannya.
Mush’ab menyadari bahwa jika ia terang-terangan mengungkapkan keislamannya, ia akan disiksa oleh kaumnya. Ia menghabiskan banyak waktu di rumah persembunyian sambil belajar dari Nabi Muhammad hingga menjadi salah satu sahabat yang paling memahami ajaran beliau. Ketika orang-orang kafir Quraisy mengetahui pergerakan kaum Muslimin, mereka melakukan pengintaian. Utsman bin Thalhah melaporkan kepada ibu Mush’ab bahwa ia sedang shalat, dan proses penyiksaan pun dimulai. Mush’ab ditangkap dan ditahan oleh kaumnya dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya hijrah ke Abesina.
Al-Baladzari menceritakan bahwa ketika ibunya mengetahui keislaman Mush’ab, ia keluar dengan rambut terurai dan bersumpah tidak akan makan atau minum sampai anaknya kembali ke agamanya yang lama. Saudara Mush’ab, Abu ‘Aziz, berusaha membujuk ibunya agar tidak terus-menerus menyiksa diri dengan cara tersebut. Meskipun ibunya bersikeras untuk tidak makan dan menjemur diri di bawah terik matahari, Mush’ab memilih untuk hijrah bersama Nabi Muhammad.
Mush’ab mengalami berbagai siksaan sebagaimana sahabat-sahabat lainnya, bahkan ia mendapatkan siksaan yang lebih parah karena perbedaan perlakuan sebelum dan setelah masuk Islam. Ibu Mush’ab yang awalnya sangat memperhatikannya kini berubah amarah dan kecewa, sehingga ia tidak segan-segan menyiksa anaknya secara batin dan menanamkan rasa bersalah dalam jiwa Mush’ab. Kehidupan Mush’ab berubah drastis; ia kehilangan semua kenikmatan yang dulu dinikmatinya. Nabi Muhammad pun meneteskan air mata ketika melihat kondisi Mush’ab yang memprihatinkan.
‘Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa saat Mush’ab muncul di hadapan mereka dalam keadaan mengenakan jubah yang ditambal bulu, Nabi Muhammad merasa sangat sedih melihat perubahan drastis pada sahabatnya tersebut. Beliau bersabda tentang kondisi umat Islam di masa depan yang lebih baik daripada saat itu.
Siksaan yang dialami Mush’ab mencakup kerugian finansial karena ibunya memutus sumber penghidupannya, siksaan fisik yang membuatnya kelaparan dan kehilangan berat badan, serta derita psikologis dari sikap ibunya. Namun, berkat hidayah Allah, Mush’ab berhasil menahan semua penderitaan ini.
Mush’ab bin ‘Umair kemudian hijrah ke Madinah dan dipercaya sebagai pengajar agama karena ilmunya yang mumpuni dan kemampuannya dalam berargumen serta menyampaikan nilai-nilai Al-Quran. Ia juga berpartisipasi dalam beberapa perang awal Islam seperti Perang Badar dan Uhud. Di Perang Uhud, Mush’ab syahid setelah memegang salah satu bendera panji peperangan.
Ketika perang selesai, Nabi Muhammad menghampiri para korban perang dan berhenti di samping jasad Mush’ab sambil membaca ayat 23 Surah Al-Ahzab, mengingatkan akan kesetiaan para mukmin terhadap janji mereka kepada Allah. Mush’ab wafat pada umur 40 tahun lebih, meninggalkan kisah perjuangan yang penuh teladan tentang kesabaran dan keteguhan iman di tengah berbagai cobaan dari kaumnya sendiri.