Demokrasi di Indonesia, yang tercermin dalam pemilihan umum untuk jabatan politik legislatif dan eksekutif, telah membuka sedikit ruang bagi kedaulatan rakyat. Namun, dinasti politik yang ada di berbagai level, baik partai, legislatif, maupun eksekutif, masih terus berkembang. Hal ini berpotensi menghalangi terpilihnya pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas. Sering kali, hubungan kekerabatan lebih diutamakan daripada memilih kader yang memiliki kualitas dalam kontestasi politik.
Dalam konteks ini, Sayyidina Umar bin Khattab bisa dijadikan teladan dalam menolak dinasti politik bagi bangsa Indonesia. Di akhir hidupnya, setelah tragedi penusukan yang dialaminya, Sayyidina Umar didesak untuk segera menunjuk penggantinya. Ia menyatakan bahwa jika Abu Ubaidah masih hidup, ia akan memilihnya sebagai pengganti. Umar merujuk pada Nabi Muhammad yang menyebut Abu Ubaidah sebagai “aminul ummah” atau orang kepercayaan umat Islam. Sayangnya, Abu Ubaidah meninggal dunia saat endemi thaun ‘Ammas di Syam pada tahun 18 H/638 M.
Umar juga menyebutkan Salim, mantan budak Abu Hudzaifah, sebagai pilihan penggantinya. Salim dikenal sebagai ahli Al-Quran dan pribadi yang sangat ikhlas. Ia wafat pada perang Yamamah di masa pemerintahan Abu Bakar. Kedua tokoh ini telah menunjukkan prestasi dan kontribusi yang luar biasa dalam pemerintahan, terutama Abu Ubaidah yang mendapat pengakuan langsung dari Nabi Muhammad.
Namun, ketika kolega-kolega Umar mengusulkan agar Abdullah, anaknya sendiri, dijadikan pengganti, Umar merespons dengan kemarahan. Ia menolak keras usulan tersebut, menegaskan bahwa ia tidak ingin menunjuk pengganti dari keluarganya. Dalam pandangannya, jika kepemimpinan itu baik, maka dia sudah melaksanakannya; dan jika buruk, itu bukan untuk keluarganya.
Umar mengingatkan bahwa hanya satu orang dari keluarganya yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan atas urusan umat Muhammad. Ia ingin memastikan bahwa orang-orang yang memegang jabatan publik adalah mereka yang memiliki kualitas dan kapabilitas yang baik. Keterlibatan dalam pemerintahan bukanlah sebuah kebanggaan, tetapi suatu tanggung jawab.
Keteladanan Sayyidina Umar yang menolak mengedepankan keluarganya dalam politik menjadi contoh penting bagi bangsa Indonesia untuk menerapkan sistem meritokrasi. Pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan hubungan kekerabatan. Jika dinasti politik terus berlangsung di level partai maupun pemerintah, akan sulit bagi rakyat untuk mendapatkan calon pemimpin yang berkualitas.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memiliki kesempatan berkiprah di dunia politik tanpa harus terhalang oleh dinasti politik. Dengan meneladani sikap Sayyidina Umar yang anti dinasti politik, diharapkan bangsa Indonesia dapat memilih calon-calon pemimpin yang berkualitas dan bertanggung jawab.