- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Menolak Dinasti Politik dalam Upaya Mewujudkan Demokrasi Sejati

Google Search Widget

Dinasti politik yang berkembang tanpa pengaturan yang tepat dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Impian demokrasi yang sejati, yaitu ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’, menjadi sulit dicapai dan berpotensi menghadirkan tragedi ‘dari dinasti, oleh dinasti, dan untuk dinasti’. Dalam kondisi ini, rakyat akan menjadi alat bagi dinasti politik untuk memperluas pengaruhnya.

Dalam sejarah pemerintahan Islam, Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah pertama telah menekankan pentingnya memilih individu yang memiliki kredibilitas dalam menjalankan pemerintahan, sekaligus menolak dinasti politik dengan tegas. Menjelang akhir hayatnya, Sayyidina Abu Bakar memanggil beberapa sahabat untuk berdiskusi mengenai sosok yang akan menggantikan posisinya.

Pertama, ia bertanya kepada Abdurrahman bin Auf tentang pendapatnya mengenai Umar bin Khattab. Abdurrahman menjawab bahwa Umar adalah sosok yang lebih baik dari yang dibayangkan Sayyidina Abu Bakar, meskipun memiliki sikap yang keras. Ia berpendapat bahwa ketegasan Umar disebabkan oleh perbedaannya dengan sifat lembut Abdurrahman. Ia yakin bahwa jika Umar memimpin, ia akan mampu menyesuaikan sikapnya demi kepentingan pemerintahan.

Selanjutnya, Sayyidina Abu Bakar juga bertanya kepada Utsman bin Affan. Utsman menjawab bahwa karakter Umar yang baik jauh lebih dalam daripada kesan yang terlihat. Kemudian, Abu Thalhah bin Ubaidillah juga memberikan pendapatnya, menekankan kekhawatiran terhadap kepemimpinan Umar yang mungkin tidak mudah bagi masyarakat.

Sayyidina Abu Bakar, dengan keyakinan penuh, menyatakan bahwa ketika ia bertemu dengan Tuhan, ia akan menjawab bahwa ia telah menunjuk orang terbaik untuk umatnya. Ia kemudian memerintahkan Utsman untuk mencatat pengangkatannya terhadap Umar sebagai pengganti. Dalam maklumat tersebut, Abu Bakar menegaskan bahwa ia tidak hanya memilih yang baik, tetapi yang terbaik untuk umat.

Ketika pengangkatan Umar diumumkan, rakyat dengan kompak mengikuti petunjuk Sayyidina Abu Bakar. Dalam momen tersebut, Abu Bakar menegaskan kembali bahwa ia tidak menunjuk orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya dan meminta rakyat untuk mendengarkan serta menaati Umar.

Tindakan Abu Bakar jelas menunjukkan penolakannya terhadap dinasti politik dan keinginannya agar kepemimpinan tidak jatuh kepada keluarganya. Ia bisa saja menunjuk anak-anaknya seperti Abdurrahman atau Abdullah, namun ia memilih Umar karena pertanggungjawaban yang lebih besar kepada Tuhan dan kebutuhan akan ketegasan setelah kepergiannya.

Penolakan terhadap dinasti politik ini diwarisi oleh Abdurrahman bin Abu Bakar, yang kemudian menolak berbaiat kepada Yazid, yang diangkat oleh Muawiyah sebagai penguasa selanjutnya. Saat maklumat pengangkatan Yazid dibacakan di Masjid Madinah, Abdurrahman berdiri menentangnya, mengingat bahwa Abu Bakar tidak pernah memberikan kekuasaan itu kepada keluarganya.

Ketegasan Abu Bakar dan Abdurrahman dalam menolak dinasti politik patut dicontoh oleh para politisi dan seluruh bangsa Indonesia dalam upaya mengembangkan demokrasi yang lebih sehat. Ini penting agar cita-cita ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’ bisa terwujud, bukan malah ‘dari dinasti, oleh dinasti, dan untuk dinasti’, di mana rakyat hanya dijadikan alat semata.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 5

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?