Perang Khaibar berlangsung pada awal tahun 7 Hijriah, antara pertengahan bulan Muharram dan bulan Safar, setelah terjalinnya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad Saw dan kaum kafir Makkah. Sebulan setelah perjanjian tersebut, Rasulullah yang telah tiba di Madinah berangkat menuju Khaibar bersama pasukannya.
Khaibar merupakan wilayah pertanian yang terletak sekitar 165 km sebelah utara Madinah. Wilayah ini dikenal subur dengan banyak sumber air serta perkebunan yang melimpah, seperti kurma dan buah-buahan lainnya. Penduduknya terdiri dari orang-orang Arab dan Yahudi, dengan suku Arab Gathafan yang menganggap wilayah ini sebagai daerah mereka.
Latar belakang peperangan ini adalah pengusiran orang-orang Yahudi Bani an-Nadhir oleh Nabi Muhammad Saw dari Madinah karena berbagai pengkhianatan yang mereka lakukan. Banyak tokoh Bani an-Nadhir yang bermukim di Khaibar kemudian melakukan tindakan yang menghasut serta memperburuk citra Nabi Muhammad. Mereka juga mengumpulkan pasukan untuk melawan kaum Muslimin dan mendorong Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian.
Kondisi ini menunjukkan bahwa mereka telah bersiap untuk berperang, bahkan pernah merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad. Ancaman dari mereka berpotensi membahayakan keamanan kaum Muslimin di Madinah. Selain faktor keamanan, Rasulullah juga menyadari bahwa akses dakwah Islam akan terhambat jika para pemuka Yahudi di Khaibar dibiarkan beraksi. Oleh karena itu, langkah terbaik adalah mengepung Khaibar, benteng terakhir orang-orang Yahudi di Jazirah Arabia.
Peristiwa ini dicatat dalam Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 20, yang merupakan janji Allah kepada kaum Muslimin yang terlibat dalam Perjanjian Hudaibiyah, bahwa mereka akan mendapatkan banyak harta rampasan. Allah berfirman:
وَعَدَكُمُ اللّٰهُ مَغَانِمَ كَثِيْرَةً تَأْخُذُوْنَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هٰذِهٖ وَكَفَّ اَيْدِيَ النَّاسِ عَنْكُمْۚ وَلِتَكُوْنَ اٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ
Artinya: “Allah telah menjanjikan kepadamu rampasan perang yang banyak yang (nanti) dapat kamu ambil, maka Dia menyegerakan (harta rampasan perang) ini untukmu. Dia menahan tangan (mencegah) manusia dari (upaya menganiaya)-mu (agar kamu mensyukuri-Nya), agar menjadi bukti bagi orang-orang mukmin, dan agar Dia menunjukkan kamu ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fath ayat 20).
Rasulullah berangkat ke Khaibar dengan jumlah pasukan antara 1.400 hingga 1.600 orang. Pasukan tersebut terdiri dari mereka yang ikut Rasulullah dalam melaksanakan umrah namun terhalang oleh kaum kafir Makkah, sehingga terbentuklah Perjanjian Hudaibiyah. Mengenai jumlah pasukan tersebut, Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa angka tersebut sesuai dengan perbedaan pendapat dalam riwayat hadis.
Pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Rasulullah termasuk dua ratus ekor kuda dan beberapa wanita. Istri beliau, Ummu Salamah, juga turut serta karena sebelumnya telah mengikuti perjalanan ke Hudaibiyah.
Strategi Rasulullah sebelum tiba di Khaibar adalah menghalau suku Arab Ghathafan yang bekerja sama dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Khaibar dikenal sebagai pemukiman yang kuat dan sulit ditaklukkan, tetapi di dalamnya terdapat perpecahan antar suku yang membuat mereka tidak dapat bersatu melawan musuh. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh Rasulullah untuk memecah belah mereka lebih dalam lagi.
Setelah itu, pasukan Islam mendirikan markas di satu tempat strategis sebelum menyerang Khaibar. Mereka mendengar kegaduhan di pemukiman Khaibar dan menduga bahwa pasukan Muslimin sedang menyerang. Hal ini membuat pasukan Ghathafan urung membantu orang-orang Yahudi Khaibar dan kembali ke tempat mereka untuk melindungi harta dan keluarga.
Sesampainya di Khaibar sebelum fajar, Rasulullah dan pasukannya melaksanakan shalat Subuh di pinggiran kota. Ketika matahari terbit, serangan dimulai. Penduduk Khaibar yang keluar dari rumah dengan alat pertanian terkejut mendapati serangan mendadak tersebut.
Rasulullah Saw memulai serangan dengan ucapan:
الله أكبر , خربت خيبر , إنّا إذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين
Artinya: “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami jika turun menyerang di halaman satu kaum, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan catatan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Khaibar memiliki beberapa benteng besar yang mengamankan wilayah tersebut. Dalam paruh pertama wilayahnya terdapat lima benteng, sedangkan di paruh kedua terdapat tiga benteng.
Pasukan Islam pertama kali menyerang benteng Na’im di Nathat, tetapi gagal selama dua hari. Setelah itu, panji Rasulullah diberikan kepada Sayyidina Ali Ra., yang kemudian berhasil mengalahkan Marhab, tokoh Yahudi gagah berani. Dengan kemenangan ini, benteng Na’im berhasil ditaklukkan, diikuti penaklukan benteng lainnya.
Selama 14 hari pasukan Islam mengepung Khaibar hingga akhirnya penduduknya menyerah dan meminta perdamaian. Korban dari pihak Islam tercatat sebanyak 20 hingga 25 orang, sedangkan dari pihak Yahudi 93 orang.
Kemenangan ini membawa dampak positif bagi kaum Muslimin dan memenuhi janji Allah dalam QS Al-Fath ayat 20. Mereka memperoleh banyak harta rampasan dari penaklukan Khaibar dan akses dakwah Islam semakin lebar karena kondisi keamanan Madinah membaik. Ekonomi masyarakat Islam juga tumbuh pesat berkat hasil rampasan perang yang dibagikan kepada para Muhajirin, memenuhi kebutuhan mereka setelah sebelumnya menerima bantuan dari Anshar.