Nabi Muhammad SAW memiliki rencana untuk melakukan rihlah ibadah haji ke Makkah tanpa membawa senjata. Meskipun banyak pengikutnya yang menentang, mengingat ketegangan antara penduduk Madinah dan Makkah, beliau tetap berpegang pada niatnya yang murni untuk beribadah. Dalam pandangan sebagian sahabat, perjalanan ini terasa berbahaya, bahkan Umar bin Khattab menggambarkannya seperti domba menuju tempat penjagalan. Namun, Nabi tidak menghiraukan kekhawatiran tersebut dan mengarahkan mereka untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Berita tentang perjalanan Nabi Muhammad bersama sahabat-sahabatnya cepat menyebar hingga sampai ke telinga Kaum Quraisy, yang segera mengirim pasukan di bawah komando Khalid bin Walid untuk menghadang mereka. Ketika Rasulullah tiba di Hudaibiyah, unta Qaswa yang ditungganginya tiba-tiba berhenti dan menolak bergerak maju. Bagi Nabi, ini merupakan tanda untuk kembali tanpa konflik. Ia mengingatkan para sahabat bahwa tujuan perjalanan adalah damai.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa dalam perundingan dengan Quraisy, ia akan memenuhi apapun permintaan mereka. Ia tidak memiliki niat untuk menginvasi Makkah atau menaklukkan Kaum Quraisy. Ini menunjukkan sikap rendah hati dan komitmennya pada perdamaian.
Ketika Hulais, utusan Quraisy untuk berunding, datang, Nabi mengirimkan unta-unta yang dihias untuk dijadikan korban dalam ibadah haji. Hulais terkesan dengan sambutan tersebut dan melaporkan bahwa rombongan harusnya diizinkan masuk ke Kota Haram. Namun, laporan itu ditolak oleh Safwan bin Umayyah, salah satu pemimpin Quraisy. Mereka kemudian mengutus Urwah bin Masud yang juga terkesan dengan kesetiaan umat Nabi.
Utsman bin Affan diutus untuk melobi petinggi Quraisy agar mereka diizinkan masuk ke Makkah, tetapi usahanya gagal dan kabar buruk mengenai penahanannya muncul. Dalam situasi genting ini, Nabi Muhammad mengambil sumpah setia dari para pengikutnya. Kabar baik tiba bahwa Utsman selamat dan Suhail, perwakilan Quraisy, mendekati perkemahan Nabi untuk memulai perundingan.
Perjanjian Hudaibiyah pun disepakati. Meskipun banyak sahabat merasa kesepakatan itu merugikan umat Islam, Nabi melihatnya sebagai langkah strategis untuk kemenangan di masa depan. Suhail meminta beberapa perubahan dalam perjanjian, termasuk penghapusan tulisan basmalah dan gelar Rasulullah. Nabi menerima semua permintaan tersebut tanpa protes.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menulis perjanjian merasa berat hati untuk menghapus frasa yang diminta Suhail. Namun, Nabi meminta Ali untuk mengikuti arahan Suhail dan mengganti gelar Rasulullah menjadi Muhammad bin Abdullah. Suhail berargumen bahwa jika dia percaya kepada Nabi sebagai Rasulullah, dia tidak akan memusuhinya selama ini.
Setelah perjanjian ditandatangani, Nabi dan sahabatnya kembali ke Madinah. Salah satu poin kesepakatan adalah mereka tidak diperkenankan masuk Makkah pada tahun itu, melainkan pada tahun berikutnya dengan batasan waktu tinggal hanya tiga hari dan larangan membawa senjata kecuali satu pedang yang tersarungkan.
Nabi juga tidak membawa Muslim yang ditawan oleh Quraisy. Abu Jandal, putra Suhail yang ingin bergabung dengan Nabi, harus ditinggalkan meskipun sudah berjuang keras untuk ikut. Sebagai utusan Allah, Nabi tidak bisa mengingkari kesepakatan perjanjian.
Setahun kemudian, Nabi Muhammad SAW kembali ke Makkah dengan rombongan lebih besar. Ia berpesan kepada para sahabat agar bersikap tenang dan tidak berlebihan untuk menghindari provokasi. Di perjalanan ibadah haji itu, banyak tokoh Quraisy yang tergerak hatinya untuk beriman kepada Nabi dan mengakui kerasulannya, termasuk Ikrimah dan Suhail yang sebelumnya menjadi penentang.
Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang penuh kedamaian, komitmen pada perjanjian, dan kerendahan hati dalam menghadapi tantangan. Ini adalah contoh penting dari kepemimpinan moral yang harus dicontoh oleh setiap pemimpin.