- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kebaikan Hati Hasan bin Ali

Google Search Widget

Sayyidina Hasan bin Ali adalah putra pertama dari pasangan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Hasan dikenal sebagai sosok yang penyayang dan penuh kasih. Imam Jalaluddin Suyuthi dalam kitab Tarikh Khulafa menggambarkannya sebagai laki-laki dengan kepribadian yang sempurna. Ia merupakan pemimpin yang penyabar, tegas, pemurah, dan memiliki akhlak yang terpuji, tidak menyukai pertengkaran dan pertumpahan darah. Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim, bersumber dari Abi Sa’id al Khuduri, memuji Hasan sebagai ahli surga.

Dalam hadis tersebut, Rasulullah bersabda, “Hasan dan Husein adalah dua pemimpin para pemuda penghuni surga.” Umair bin Ishaq, salah seorang sahabat yang menjadi saksi kebaikan hati Hasan bin Ali, menuturkan bahwa cucu tercinta Rasulullah itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Suatu ketika, Gubernur Marwan, yang sering mencaci-maki Ali dalam setiap khutbah Jumat, mengirim utusan untuk menyampaikan pesan hinaan kepada Hasan. Marwan menyebut Ali dan Hasan sebagai keledai.

Mendengar hinaan tersebut, Hasan tidak membalasnya dan tetap sabar. Ia justru memerintahkan utusan tersebut untuk menyampaikan pesan: “Katakan kepadanya, aku tidak akan membalas ucapannya ini. Namun ingatlah perjumpaan kita di hadapan Allah. Jika kamu benar, Allah akan membalas kejujuranmu; jika kamu bohong, sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.”

Ketika ayahnya wafat, Hasan dilantik oleh orang Kufah untuk menjadi Gubernur. Namun, Muawiyah datang menemuinya dan meminta agar Hasan segera menyerahkan jabatannya. Hasan bersedia menyerahkan jabatan dengan syarat bahwa jabatannya akan dikembalikan kepadanya di kemudian hari, dan Muawiyah tidak akan menuntut apapun kepada penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak terkait pemerintahan ayahnya. Muawiyah menyetujuinya dan mereka berdamai. Hasan turun dari kekuasaan pada bulan Rabiul Awal tahun 41 H.

Setelah peristiwa itu, berbagai hinaan dan cemoohan dilontarkan kepada Hasan karena memilih damai dan menyerahkan kekuasaan. Ada orang yang memanggilnya “lelaki yang menghinakan umat Islam” atau “orang yang sudah menghinakan orang mukmin.” Namun, Hasan tidak mengambil pusing atas panggilan kecewa ini dan tetap ramah kepada mereka yang membencinya.

Salah satu sahabat, Jubair bin Nafir, penasaran dengan keputusan Hasan untuk berdamai dengan Muawiyah dan bertanya langsung kepadanya. Hasan menjawab bahwa ia bukan orang yang menghinakan kaum mukminin. Ia tidak ingin membunuh sesama Muslim hanya karena berebut kekuasaan. Meskipun semua orang Arab mau membelanya, demi mencari ridha Allah, ia tidak ingin melihat pertumpahan darah di antara umat Rasulullah.

Hasan wafat karena diracun oleh istrinya, Ja’dah binti Asy’ats bin Qais, setelah terpengaruh bujuk rayu Yazid bin Muawiyah yang berjanji akan menikahinya jika ia berhasil membunuh Hasan. Di tengah sakitnya, Husein bin Ali, saudaranya, memaksa Hasan untuk memberitahu siapa yang meracunnya. Namun, Hasan menolak untuk memberitahu, mengatakan bahwa “Allah lebih dahsyat balasannya jika dugaanku benar bahwa aku diracun. Jika tidak, demi Allah jangan sampai ada orang yang terbunuh karena diriku.”

Kisah kebaikan hati Hasan bin Ali mencerminkan kedermawanan, belas kasih, dan akhlak mulia yang dimiliki oleh keluarga Nabi Muhammad.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?