Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang menjadi bukti kenabian. Meskipun nabi merupakan manusia biasa dengan sifat kemanusiaan, terdapat banyak hal yang bisa diteladani dari kehidupan beliau. Contohnya, Nabi Muhammad merasakan lapar seperti manusia lainnya, namun di balik kelaparan tersebut ada mukjizat dan hikmah yang mengandung pelajaran berharga. Mukjizat tidak dapat ditiru, tetapi hikmah dan nilai keteladanannya bisa dicontoh oleh umatnya.
Seringkali, Allah menurunkan mukjizat kepada nabi dan rasul-Nya dalam situasi sulit sebagai solusi bagi umat. Namun, turunnya mukjizat ini bukanlah kebetulan. Kronologi, waktu, dan tempat terjadinya mukjizat perlu dikaji sebagai tanda kebesaran Allah dan kebenaran Islam. Salah satu mukjizat yang terjadi pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bulan Syawal adalah saat Perang Khandaq pada tahun ke-5 Hijriah, ketika nabi dan para sahabat menghadapi kelaparan yang hebat.
Dalam kondisi itu, para sahabat seperti Anas bin Malik Radliyallahu ‘anh bersaksi bahwa masing-masing orang hanya memiliki segenggam tepung gandum. Tepung tersebut dicampur minyak untuk dijadikan adonan. Mereka mengalami kelaparan yang luar biasa, bahkan ada yang terpaksa mengganjal perutnya dengan batu. Di tengah kesulitan ini, Nabi Muhammad pun melakukan hal yang sama.
Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury menggambarkan penderitaan umat Islam dan nabi pada waktu itu. Jabir bin Abdullah melihat Nabi yang tersiksa karena lapar. Jabir kemudian menyembelih seekor anak kambing dan istrinya menyiapkan satu sha’ tepung gandum. Ketika makanan sudah siap, Jabir membisiki Rasulullah agar datang bersama beberapa sahabat. Namun, Nabi justru mengajak semua penggali parit yang berjumlah seribu orang untuk makan bersama.
Hadits riwayat Imam Bukhari menjelaskan bahwa satu-satunya hewan yang disembelih adalah anak kambing. Menariknya, cara Nabi mendatangkan mukjizat adalah dengan meludahi masakan yang dibuat oleh Jabir dan istrinya. Ketika jumlah orang yang harus makan sangat banyak, mukjizat terjadi: semua orang dapat makan hingga kenyang, sementara periuk dan adonan roti tetap penuh. Fenomena ini menunjukkan adanya keajaiban yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Mukjizat ini terjadi di Bulan Syawal sebagai pengingat akan pentingnya kesetiakawanan sosial. Saat itu, Jabir dan istrinya tidak memiliki makanan dalam jumlah besar, tetapi Rasulullah mengajarkan mereka untuk memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Meskipun saat ini Bulan Syawal identik dengan Idul Fitri dan limpahan makanan, kita juga harus memperhatikan mereka yang kurang beruntung.
Kegembiraan setelah lebaran seharusnya tidak melupakan realitas bahwa ada saudara Muslim lain yang mungkin sedang mengalami kesulitan. Mukjizat ludah Nabi Muhammad dalam memperbanyak makanan mungkin tidak akan terulang, tetapi semangat ajaran beliau tentang kesetiakawanan sosial di Bulan Syawal sangat layak untuk dilestarikan hingga kini.