Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan banyaknya gangguan yang dialami umat Islam di Palestina, terutama saat menjalankan ibadah Ramadhan. Penyerangan di dalam Masjidil Aqsha saat umat Islam beribadah Ramadhan baru-baru ini mengejutkan berbagai pihak. Tidak lama setelah itu, terjadi pengusiran dan pelarangan shalat di halaman Masjidil Aqsha yang dilakukan oleh tentara Israel dengan cara yang brutal.
Di tengah keprihatinan kaum muslimin Palestina, terdapat sejarah menarik mengenai kebebasan beragama saat Ramadhan pada masa Umar bin Khattab, khususnya di Masjidil Aqsha, yang perlu diketahui oleh dunia. Palestina dulunya merupakan bagian dari wilayah negeri Syam. Pada masa Amirul Mu’minin Umar bin Khattab, Yerusalem ditaklukkan oleh kaum muslimin, yang membawa kedamaian bagi tiga penganut agama di sekitar Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi dapat beribadah dengan leluasa tanpa gangguan. Masuknya Khalifah Umar ke Yerusalem diawali dengan negosiasi damai antara penduduk dan tentara muslimin.
Perluasan wilayah Islam pada masa itu bertujuan untuk membebaskan manusia dari kezaliman penguasa. Syam, termasuk Palestina dan Yerusalem, dihuni oleh berbagai umat dengan agama berbeda. Saat itu, penguasa Syam adalah Kerajaan Romawi yang berpusat di Byzantium. Namun, kekuasaan Romawi dirasakan sebagai bentuk penjajahan yang zalim bagi penduduknya.
Tidak mengherankan jika kekuatan penguasa Islam menjadi pilihan bagi penduduk Palestina dan Yerusalem. Selain membebaskan daerah di sekitar Syam dari penjajahan Romawi, rakyat berharap besar pada kebijakan agama Islam yang melindungi semua umat beragama. Pembesar Baitul Maqdis mengenali konsep ajaran Islam yang dibawa oleh sahabat Nabi untuk melindungi kaum dzimmi. Hal ini terungkap ketika pemuka masyarakat di Baitul Maqdis menyampaikan aspirasi mereka kepada Sahabat Umar.
Umar memasuki Baitul Maqdis pada sepuluh hari kedua bulan Ramadhan tahun ke-15 Hijriah. Ia masuk pada hari Senin dan tinggal hingga hari Jumat, di mana beliau memberikan khutbah dan melaksanakan shalat Jumat di bagian timur kota yang merupakan lokasi masjid. Dalam satu riwayat, Khalifah Umar tinggal di Baitul Maqdis selama sepuluh hari. Pada awal kedatangannya, ia mencari batu yang pernah dipijak Nabi.
Setibanya di sana, Umar bin Khattab mencari seorang pendeta Yahudi terkemuka yang telah memeluk Islam untuk membimbingnya menuju lokasi batu pijakan Nabi dan Masjidil Aqsa. Kepeduliannya terhadap lokasi tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menghormati situs sejarah. Tindakan Umar juga merupakan amanat ilmiah ajaran Islam untuk melestarikan peninggalan nabinya.
Umar bin Khattab menemukan lokasi batu (tempat Nabi naik ke surga pada malam Isra’ dan Mi’raj) dan memerintahkan agar tempat tersebut dibersihkan. Ia bahkan membersihkannya dengan pakaiannya sendiri bersama para pengikutnya. Mereka melaksanakan sholat Subuh di makam Nabi Dawud, yang menjadi saat pertama kalinya adzan terdengar di Yerusalem. Ia kemudian memerintahkan agar Masjidil Aqsa dibangun di lokasi tersebut, yang saat itu hanya berupa tembok di dalam area yang luas.
Pencapaian penting Khalifah Umar adalah penyampaian janji tertulis yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum Nasrani dan Yahudi di sekitar Baitul Maqdis. Janji tersebut tertulis dan disaksikan oleh sahabat-sahabat lainnya.
“Ini adalah ikrar keselamatan dari Abdullah (hamba Allah), Umar Ibnul Khattab, Pemimpinnya orang beriman yang memberikan kepada orang-orang Elia’a. Janji keselamatan untuk diri mereka sendiri, untuk harta mereka, gereja, salib, dan semua orang mereka. Ini adalah janji bahwa gereja-gereja mereka tidak akan dihuni, dihancurkan atau diambil alih. Dan bahwa mereka tidak akan dipaksa untuk mengubah agama mereka.”
Berkat ikrar jaminan keselamatan itu, penduduk di Baitul Maqdis dapat hidup dalam kedamaian. Ikrar serupa juga dikeluarkan oleh Umar di daerah Ludd, sebuah desa dekat Baitul Maqdis. Setelah itu, Umar kembali ke Damaskus untuk menemui pasukannya yang bermarkas di sana.
Damaskus merupakan daerah di Syam yang sekarang menjadi wilayah Syria. Sebelum memeluk Islam, Umar pernah berdagang hingga ke Damaskus. Saat itu, ia bolak-balik dari Yaman, Mekah, dan Syam untuk berdagang parfum dan kemenyan Arab. Kepiawaiannya dalam mencermati fenomena sosial di tempat-tempat yang dikunjungi membuat Umar mampu menerapkan strategi perluasan wilayah Islam yang efektif ketika ia menjabat sebagai Amirul Mu’minin.
Ramadhan pada masa Umar mengunjungi Baitul Maqdis menjadi saksi bahwa Islam tidak pernah mengganggu umat agama lain. Tidak hanya umat Islam yang mengakui hal ini, tetapi semua yang memahami sejarah akan mengerti tentang bukti toleransi kaum muslimin. Saat ini, kaum muslimin di seluruh dunia memberikan dukungan nyata dan doa agar saudara-saudara muslim di Palestina dapat menjalankan akhir Bulan Ramadhan dengan ketenangan.