Fenomena memamerkan kekayaan sudah ada sejak zaman dahulu, termasuk pada masa kerajaan Islam. Di era ini, kemewahan para raja dan penguasa sering kali terlihat dalam bentuk yang mencolok. Kisah kemewahan ini tidak hanya melibatkan raja, tetapi juga menjalar kepada rakyat, menciptakan budaya pamer harta yang berdampak luas.
Pada masa Rasulullah saw dan tiga generasi setelahnya, kejayaan Islam dicapai tanpa mengagungkan harta benda. Namun, setelah masa tersebut berakhir, munculnya penguasa dari dinasti-dinasti Islam membawa perubahan. Sejak Dinasti Umayyah, banyak harta dari daerah yang dikuasai terkumpul di tangan pemimpin Islam, dan pembangunan istana-istana megah menjadi simbol kekuasaan mereka.
Sebelum era Umar bin Abdul Aziz, kepemimpinan Dinasti Umayyah sangat aktif dalam membangun berbagai bangunan. Fasilitas umum dan masjid dibangun sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, namun seiring waktu, pembangunan istana-istana mewah mulai mendominasi sebagai simbol kebesaran. Salah satu contoh mencolok adalah rumah-rumah pangeran yang dirancang dengan warna-warni yang mencolok, menunjukkan kemewahan hidup mereka yang kontras dengan kehidupan rakyat biasa.
Kekuasaan para raja sering kali membuat mereka terasing dari masyarakat. Mereka mendirikan kastil elit di tengah gurun dengan harapan terhindar dari wabah, tetapi tetap menjalani hidup yang berlebihan. Namun, masa Umar bin Abdul Aziz membawa angin segar dengan kebijakan kepemimpinan yang lebih sederhana dan perhatian terhadap kesejahteraan umat.
Meskipun ada penguasa yang menolak kemewahan, tetap saja banyak yang terjebak dalam gaya hidup glamor. Bahkan, Nabi Muhammad saw telah memperingatkan akan munculnya fenomena ini. Sabda beliau menunjukkan bahwa akan ada rumah-rumah pemandian yang menjadi tempat bagi wanita untuk saling pamer pakaian dan perhiasan.
Di Andalusia, fenomena ini terlihat jelas dengan adanya hammam yang menjadi tempat berkumpulnya wanita untuk bertukar gosip dan memamerkan pakaian. Kritikan terhadap perilaku ini datang dari berbagai pihak, termasuk Ibnul Hajj, yang melihat dampak negatif dari interaksi semacam itu.
Hammam bukan hanya berfungsi sebagai tempat bersih-bersih, tetapi juga memiliki nilai sosial dan medis. Wanita yang sakit atau nifas diperbolehkan untuk mengunjungi tempat ini untuk mendapatkan pengobatan, meskipun hal ini tidak menghilangkan kecenderungan untuk memamerkan diri di kalangan wanita sehat.
Tidak semua penguasa Dinasti Umayyah terjebak dalam kemewahan. Namun, banyak dari mereka yang mendirikan istana sebagai sarana pamer harta dan kekuasaan. Tindakan penguasa ini sering kali diikuti oleh pejabat dan rakyat di bawahnya. Pada masa ketika raja membangun banyak kastil megah, masyarakat cenderung berbicara tentang kemewahan tersebut.
Sebaliknya, pada era Umar bin Abdul Aziz, masyarakat lebih fokus pada ibadah dan membaca Al-Qur’an. Meskipun zaman kerajaan Islam memberikan kontribusi positif terhadap kejayaan Islam, fenomena pamer harta di kalangan penguasa dan rakyat menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan generasi berikutnya untuk mempertahankan kegemilangan pendahulunya.