Usia manusia adalah misteri yang tak seorang pun dapat ketahui. Kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Yang paling tidak diinginkan adalah kehilangan seseorang yang masih memiliki banyak tanggung jawab yang belum terselesaikan, terutama ketika menyangkut urusan kenegaraan. Hal ini dapat berpotensi menyebabkan instabilitas pemerintahan jika pemimpin tiba-tiba meninggal.
Al-Muktafi, khalifah ketujuh belas dari Dinasti Abbasiyah, dipanggil oleh Allah Swt saat masa pemerintahannya baru berlangsung enam tahun. Ia wafat dalam usia yang masih muda, yaitu 30 tahun. Ketidakmampuan generasi penerusnya membuat Dinasti Abbasiyah kembali mengalami kemunduran.
Masa kekuasaan selama enam tahun terbilang singkat untuk ukuran sistem pemerintahan dinasti seperti yang dianut Abbasiyah, mengingat kekuasaan absolut yang berlaku di mana khalifah tidak dapat digantikan sampai ia wafat. Jika seorang khalifah dilantik pada usia 25 tahun dan meninggal di usia 70 tahun, ia bisa menjabat selama 45 tahun, jauh lebih lama dibandingkan dengan masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dalam sistem pemerintahan presidensial.
Begitu sang ayah, Al-Muhtadid Billah, sakit menjelang wafat, Al-Muktafi yang bernama asli Ali bin Al-Muhtadid dilantik sebagai pemimpin Dinasti Abbasiyah pada hari Jumat setelah shalat Ashar, 9 Rabiul Awwal 289 H. Saat pelantikannya, Al-Muktafi tidak berada di istana karena sedang berada di Riqqah. Menterinya, Abul Husein al-Qasim bin Ubaidillah, mengambil alih untuk memastikan pelantikan tetap berlangsung sesuai rencana dengan mengirimkan surat kepada Al-Muktafi.
Sesampainya di Baghdad pada 7 Jumadal Ula dan setelah resmi menjadi khalifah, Al-Muktafi mulai melakukan rekonstruksi pemerintahan di berbagai bidang. Ia menghancurkan gedung penjara yang dibangun oleh ayahnya dan mendirikan masjid di atas lahan tersebut. Selain itu, ia memerintahkan agar taman-taman dan toko-toko dikembalikan kepada pemiliknya yang sebelumnya dirampas oleh ayahnya. Kebijaksanaan Al-Muktafi tampak disukai rakyatnya, sebagaimana tercermin dalam testimoni Jalaluddin as-Suyuthi yang menyatakan bahwa Al-Muktafi telah menjalani kehidupan yang sangat baik sehingga rakyat mencintainya serta banyak mendoakannya.
Karakter Al-Muktafi sangat kontras dengan khalifah sebelumnya, Al-Muhtadi, yang dikenal sebagai pemimpin “tangan besi.” Al-Muhtadi terkenal dengan sikap tegasnya yang membuat tidak ada orang berani melakukan pelanggaran. Ketegasan ini membantu mengembalikan kejayaan Dinasti Abbasiyah setelah mengalami kemunduran.
Namun, masa pemerintahan Al-Muktafi tidak lepas dari tantangan. Pada masa pemerintahannya, muncul pemberontakan yang dipimpin oleh Yahya bin Zakrawaih al-Qimrithi. Konflik militer berlangsung cukup lama hingga Yahya berhasil dilumpuhkan dan dibunuh pada 290 H. Ideologi Yahya kemudian diteruskan oleh saudaranya, Al-Husein, yang juga tidak sendiri. Bersama keponakannya Isa bin Mahrawaih dan anaknya Al-Muthawwaq bin an-Nur, mereka bersatu melakukan pemberontakan hingga berhasil dibunuh pada 291 H.
Sayangnya, masa kepemimpinan Al-Muktafi tidak berlangsung lama. Ia wafat pada malam Ahad, 12 Dzulqa’dah 295 H, di usia ketiga puluh tahun, setelah menjabat sebagai khalifah selama enam tahun dari 289 H hingga 295 H. Ia meninggalkan delapan anak laki-laki dan delapan anak perempuan.
Dengan masa pemerintahan yang singkat ini, Al-Muktafi meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi khalifah berikutnya, yang dapat berpotensi menimbulkan instabilitas politik. Pewaris tahta selanjutnya adalah Al-Muqtadir, adik sang khalifah yang saat itu baru berusia 13 tahun. Usia muda Al-Muqtadir membuatnya terlalu polos untuk memahami peta politik di pemerintahan, sehingga ia dijadikan khalifah boneka oleh sejumlah pihak yang memanfaatkan ketidakmampuannya memimpin.
Selama masa pemerintahan Al-Muktafi, sejumlah tokoh penting juga wafat, seperti Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Tsa’lab (pakar bahasa Arab), Qunbul (pakar qira’at), Abu Abdullah al-Busyanji (seorang faqih terkemuka), Al-Bazzar (penulis Musnad), Abu Muslim Al-Kaji, serta beberapa tokoh lainnya.