- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Hikmah Perang Bani Quraizhah dalam Perspektif Islam

Google Search Widget

Perang Bani Quraizhah terjadi pada bulan Dzulqa’dah, yang merupakan salah satu bulan yang sangat dimuliakan dalam Islam. Perang ini dilatarbelakangi oleh pengkhianatan kelompok di perkampungan Bani Quraizhah. Oleh karena itu, Rasulullah mengambil langkah untuk berperang sebagai solusi terakhir meskipun bertepatan dengan bulan haram.

Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, seorang pakar sejarah dari Timur Tengah, menguraikan hikmah-hikmah yang terkandung dalam peperangan ini dalam kitab Fiqhus Sirah an-Nabawiyah. Ia juga menjelaskan alasan dibolehkannya berperang pada bulan haram, yang secara umum diharamkan dalam Islam. Beberapa hikmah tersebut adalah:

Pertama, Diperbolehkannya Perang
Dalam ajaran Islam, Allah melarang umat Islam untuk berperang di bulan-bulan yang dimuliakan, seperti Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Larangan ini bertujuan untuk menjaga sakralitas bulan-bulan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

يَسْأَلونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ

Artinya, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar.” (QS Al-Baqarah [2]: 217)

Namun, larangan ini tidak berlaku secara mutlak. Perang pada bulan ini diperbolehkan untuk memerangi pihak yang melanggar perjanjian. Perjanjian damai dan jaminan keamanan antara kaum Muslim dan nonmuslim harus dihormati, selama poin-poin perjanjian tidak dilanggar. Jika pelanggaran terjadi, kaum Muslim diperbolehkan untuk memerangi mereka jika itu membawa kemaslahatan.

Kedua, Kebolehan Ijtihad dalam Masalah Furu’
Peristiwa perang Bani Quraizhah menunjukkan kebolehan berijtihad dalam persoalan cabang (furu’iyah) dan adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat para sahabat terkait sabda Rasulullah, “Jangan ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan shalat ashar sebelum tiba di perkampungan Bani Quraizhah,” dan sikap Rasulullah yang tidak menegur atau mencela mereka menunjukkan prinsip dasar syariat Islam.

Prinsip ini menegaskan bahwa perbedaan pendapat dalam persoalan cabang adalah suatu keniscayaan. Setiap pihak yang berijtihad tetap mendapatkan pahala, meskipun hasilnya berbeda. Kisah ini juga menegaskan bahwa menghilangkan perbedaan pendapat dalam persoalan cabang yang bersumber dari dalil-dalil zhannî adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Ketiga, Anjuran Berdiri Menghormati Orang yang Datang
Ketika Sa’d bin Mu’adz datang menaiki keledai menuju kaum Anshar, Rasulullah memerintahkan agar mereka berdiri untuk menghormatinya. Tindakan ini ditegaskan melalui sabda beliau, “Berdiri dan sambutlah pemimpin dan orang terbaik kalian.” Para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil anjuran menghormati orang-orang saleh dan alim dengan cara berdiri sesuai adat kebiasaan yang berlaku.

Imam Nawawi menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan anjuran untuk menghormati orang-orang berilmu dan menyambut mereka dengan berdiri. Hal ini juga dijadikan hujah oleh mayoritas ulama untuk menyatakan bahwa berdiri untuk menghormati orang alim adalah dianjurkan.

Keempat, Kebolehan Tahkim (Damai)
Diperbolehkannya perundingan damai (tahkim) dalam urusan kaum Muslim menunjukkan pentingnya meminta keputusan hukum dari seorang Muslim yang adil dan layak. Peristiwa Bani Quraizhah menunjukkan bahwa perundingan damai dapat dilakukan dengan penduduk satu desa atau benteng di bawah keputusan hukum seorang Muslim yang adil dan dapat dipercaya.

Keputusan hukum harus membawa kemaslahatan bagi umat Islam dan harus dijalankan. Dengan kata lain, imam atau penguasa tidak boleh menolak keputusan tersebut setelah ditetapkan.

Hikmah-hikmah yang terjadi dalam peristiwa pengkhianatan penduduk Bani Quraizhah terhadap perjanjian dengan Rasulullah memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?