Bulan Dzulqa’dah merupakan bulan yang sangat sakral dan dimuliakan dalam Islam. Kemuliaan ini dapat dibuktikan dengan banyak hal, seperti semua perbuatan baik yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, serta perbuatan maksiat yang juga dilipatgandakan dosanya. Selain itu, untuk menghormati bulan mulia ini, Allah melarang umat Islam untuk melakukan peperangan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:
يَسْأَلونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
Artinya, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar.” (QS Al-Baqarah [2]: 217).
Namun, terdapat sejarah penting yang harus diketahui umat Islam yang bertepatan dengan bulan haram ini, yaitu meletusnya peperangan Bani Quraizhah pada tahun kelima setelah hijrahnya Nabi Muhammad. Peperangan ini dilatarbelakangi oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian damai yang telah mereka sepakati bersama umat Islam.
Pada saat itu, umat Islam berada dalam keadaan kelelahan dan kritis, baik dari segi kekuatan maupun persenjataan. Peristiwa ini terjadi setelah perang Khandaq di akhir bulan Syawwal. Pengkhianatan Bani Quraizhah menjadi salah satu penyebab terjadinya peperangan setelah perang Khandaq tersebut.
Syekh Shafifurrahman al-Mubarakfuri dalam salah satu kitab sirah-nya menyampaikan bahwa sehari setelah kepulangan Rasulullah ke Madinah, malaikat Jibril datang menemuinya saat beliau hendak mandi di rumah Ummu Salamah. Jibril mengatakan:
قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ؟ وَاللهِ مَا وَضَعْنَاهُ. فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ
Artinya, “’Sungguh kalian telah meletakkan senjata? Demi Allah, kami (para malaikat) belum meletakkannya. Keluarlah menuju mereka!’ kata Jibril.”
Rasulullah kemudian menginstruksikan para sahabat untuk segera bergerak menuju Bani Quraizhah. Beliau bahkan meminta agar para sahabat melaksanakan shalat Ashar di pemukiman Bani Quraizhah dengan sabdanya:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
Artinya, “Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).
Meskipun begitu, ada sahabat yang melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan karena khawatir waktu habis, sementara yang lain melanjutkan perjalanan sesuai instruksi Rasulullah. Para sahabat yang berbeda pendapat memberanikan diri untuk mengungkapkan kebingungan mereka kepada Nabi Muhammad, namun beliau tidak menegur atau memarahi mereka.
Setibanya di pemukiman Bani Quraizhah, Rasulullah dan para sahabat mengepung Yahudi Bani Quraizhah yang bersembunyi di benteng-benteng mereka selama 25 malam. Akhirnya, mereka tidak tahan lagi dan Allah menanamkan rasa takut di hati mereka.
Ka’b bin Asad, pemuka Bani Quraizhah, menyampaikan tiga saran kepada orang-orang Yahudi di tengah pengepungan tersebut. Ia mengusulkan agar mereka mengikuti Rasulullah dan membenarkannya. Namun, ada yang menolak dan mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan hukum Taurat. Ka’b kemudian menyarankan agar mereka membunuh anak dan istri mereka serta menyerang Rasulullah. Saran ini pun ditolak, sehingga pada akhirnya mereka menyerah dan tunduk pada keputusan hukum Rasulullah.
Rasulullah ingin agar keputusan mengenai Bani Quraizhah diambil oleh pembesar Suku Aus. Pilihan jatuh kepada Sa’d bin Muadz yang saat itu sedang dirawat akibat luka dari perang Khandaq. Ketika diminta untuk memutuskan perkara Bani Quraizhah, Sa’d menyatakan bahwa setiap orang dari mereka yang ikut Perang Khandaq harus dibunuh dan keturunan mereka dijadikan tawanan. Rasulullah pun menyatakan bahwa Sa’d telah memutuskan sesuai hukum Allah.
Sa’d bin Mu’adz kemudian berdoa agar diberikan kesempatan hidup untuk berjihad di jalan Allah. Tak lama setelah itu, luka Sa’d meletus dan darahnya mengalir deras, menandai akhir dari hidupnya. Setelah itu, Yahudi Bani Quraizhah dipaksa turun dari benteng dan digiring ke parit-parit Madinah. Setiap lelaki yang ikut Perang Khandaq dibunuh, sementara anak cucunya dijadikan tawanan.
Di antara yang dihukum bunuh adalah Huyay bin Akhthab, seorang pembesar Yahudi Bani Nadhir yang berhasil membujuk Bani Quraizhah untuk mengkhianati perjanjian. Saat dibawa ke hadapan Rasulullah, Huyay menyatakan bahwa ia tidak akan mencela dirinya sendiri karena telah memusuhi Rasulullah dan kemudian kepalanya dipenggal.
Demikianlah sejarah peperangan dan pengkhianatan Bani Quraizhah yang terjadi di bulan Dzulqa’dah.