Perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai Maulid Nabi, telah menjadi tradisi yang dijalankan oleh umat Muslim sejak tahun kedua hijriah. Catatan sejarah menunjukkan bahwa seorang tokoh bernama Khaizuran, ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid, berperan penting dalam pengenalan perayaan ini. Pada tahun 170 H/786 M, Khaizuran mengunjungi Madinah dan menginstruksikan penduduk setempat untuk merayakan Maulid di Masjid Nabawi. Tidak hanya di Madinah, ia juga melakukan hal yang sama di Makkah, mendorong masyarakat untuk merayakan kelahiran Nabi di rumah-rumah mereka.
Khaizuran adalah sosok yang sangat berpengaruh selama masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas, Khalifah al-Hadi, dan Khalifah al-Rasyid. Pengaruhnya yang besar memotivasi masyarakat Muslim di Arab untuk mengenang teladan serta ajaran Nabi Muhammad. Di masa Dinasti Abbasiyah, terjadi banyak pembaruan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan, arsitektur, dan pemeliharaan situs-situs sejarah yang berkaitan dengan Nabi.
Di seluruh dunia, momen kelahiran Nabi Muhammad diperingati dengan berbagai cara, termasuk di Indonesia. Di Jawa, misalnya, masyarakat merayakannya dengan membaca Manaqib Nabi Muhammad melalui kitab-kitab seperti Barzanji dan Simtud Dhurar. Setelah membaca, mereka biasanya berkumpul untuk menikmati hidangan yang disiapkan secara gotong royong. Perayaan ini bukan hanya sekedar perayaan, tetapi juga bentuk syukur atas teladan dan bimbingan yang diberikan oleh Nabi.
Indonesia dikenal akan keragamannya dalam mengekspresikan tradisi keagamaan, termasuk dalam perayaan Maulid. Di Sulawesi Selatan, terdapat tradisi unik bernama Maudu Lompoa atau Maulid Akbar, yang bahkan lebih meriah dibandingkan hari raya Idul Fitri. Maudu Lompoa berarti Maulid Besar dan merupakan puncak peringatan Maulid. Dalam perayaan ini, warga mengarak replika perahu Pinisi yang dihias dengan beraneka ragam kain sarung di tepi sungai. Salah satu lokasi terkenal untuk perayaan ini adalah Desa Cikoang di Kecamatan Laikang, Kabupaten Takalar.
Replika perahu sepanjang lima meter tersebut diarak keliling desa, diiringi tabuhan gendang dan seni musik Gandra Bulo khas setempat. Di dalam perahu terdapat makanan nasi ketan atau Songkolo yang dihias telur berwarna-warni. Sajian makanan ini melambangkan bahtera yang membawa berkah bagi masyarakat Cikoang. Setelah prosesi arak selesai, makanan ini dipersembahkan di Baruga dalam puncak Maudu Lompoa yang dipimpin oleh pemimpin ritual yang disebut Sayye.
Secara historis, perayaan Maudu Lompoa mencerminkan sejarah masuknya agama Islam ke wilayah selatan pulau Sulawesi melalui perdagangan. Peringatan ini juga menjadikan Cikoang, yang berjarak 80 kilometer dari Makassar, sebagai tujuan wisata budaya yang menarik bagi para wisatawan.