Nabi Muhammad menyampaikan risalah Tauhid dan memimpin umat Islam di Makkah. Setelah berhijrah ke Yatsrib (Madinah) karena berbagai hal, Nabi bertemu dengan berbagai kelompok, suku, dan agama. Masyarakat Madinah sejak awal bersifat plural sehingga memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk merangkul semua bangsa di Yatsrib. Di Madinah, Nabi Muhammad hendak mewujudkan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Untuk itu, dibuatlah kesepakatan bernama Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), yang berisi 47 pasal yang mengatur kehidupan bersama warga bangsa di Madinah.
Nabi Muhammad memberikan inspirasi kepada umat Islam tentang bagaimana membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama warga bangsa, meskipun demikian, Islam tetap menjadi jiwa dalam praktik kepemimpinan yang beliau lakukan. Perlu dicatat bahwa ketika Nabi membangun komunitas baru di Madinah, beliau tidak pernah mengemukakan satu pun bentuk pemerintahan politik yang baku dan diikuti oleh para penerusnya.
Sejarah mencatat bahwa tidak ada mekanisme politik standar dan baku yang berlaku bagi pergantian pemerintahan pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ironisnya, di antara keempat sahabat besar ini, hanya Abu Bakar yang meninggal secara wajar, sementara Umar, Utsman, dan Ali meninggal terbunuh. Hal ini menunjukkan bahwa risiko yang ditanggung atas sebuah kekhalifahan cukup besar karena sering kali menimbulkan konflik dan gesekan, baik dari perspektif pandangan keagamaan maupun kebijakan politik.
Keempat khalifah besar setelah Nabi Muhammad wafat menjunjung tinggi kepemimpinan Nabi yang sering melakukan musyawarah. Mereka juga tidak pernah menunjuk keluarganya untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan atau khilafah model Dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan seterusnya, di mana pergantian pemerintahan ditentukan berdasarkan monarki absolut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sistem khilafah, imamah, atau imarah tidak lebih dari sekadar ijtihad politik yang cocok diterapkan pada masanya dan belum tentu sesuai dengan era kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Masyarakat Islam bisa belajar bahwa Mitsaq al-Madinah menjadi bukti otentik dalam sejarah peradaban Islam bahwa negara pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW adalah negara Madinah, negara kesepakatan atau perjanjian (Darul Mitsaq). Dengan demikian, tidak otomatis khilafah dalam pandangan kelompok konservatif adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Justru kelompok seperti ISIS mencederai nilai-nilai ajaran Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang terhadap sesama. Mereka mengangkat senjata, menumpahkan darah, dan tidak segan-segan membantai kelompok mana pun yang berbeda pandangan serta tidak mengikuti daulah yang ingin didirikannya.
Begitu juga dengan khilafah yang terus didengungkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok Hizbut Tahrir justru ingin mengubah dasar negara dengan menolak Pancasila dan segala sistemnya. Layaknya Piagam Madinah, Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang disepakati oleh para pendiri bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa di antaranya terdiri dari para ulama dan aktivis Islam. Mereka paham agama dan fikih siyasah sehingga negara berdasarkan Pancasila tidak menyalahi syariat Islam. Justru syariat dan nilai-nilai Islam menjadi jiwa bagi Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Pancasila.
Jika khilafah ‘ala minhajin nubuwwah diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, Indonesia merupakan negara yang mempraktikkannya. Ukurannya bisa dilihat bahwa Nabi Muhammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq) bersama umat beragama, suku, dan kabilah-kabilah di Madinah berdasarkan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Serupa dengan itu, Indonesia juga mempunyai konsensus kebangsaan atau kesepakatan seluruh bangsa yang mendiami tanah air Republik Indonesia berupa Pancasila. Seluruh bangsa yang ada di dalamnya dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan dan tidak melanggar hukum yang berlaku secara norma, etika, dan legal.