- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Nusaibah dan Aksi Heroiknya di Uhud

Google Search Widget

Pada hari Sabtu, setelah tujuh malam di bulan Syawwal berlalu atau selang 32 bulan setelah hijrah, Rasulullah keluar bersama seribu pasukan untuk memenuhi tantangan orang-orang kafir Quraisy yang mengajak umat Islam untuk kembali berperang. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah perang Uhud. Namun, fokus kali ini adalah pada salah satu hikayat luar biasa dari seorang wanita yang terjadi pada peristiwa tersebut.

Terik matahari mulai beranjak ke tengah langit yang menandakan waktu siang. Sambil menenteng sekaleng air minum, Nusaibah pergi ke medan peperangan di Uhud. Ia tidak ingin duduk dengan nyaman di rumah, sementara Rasulullah lelah dan susah payah menegakkan ajaran Islam, meski harus berperang. Gejolak cinta kepada Nabi Muhammad membuatnya rela berpanas-panasan untuk pergi ke Uhud, guna ikut andil dalam menjunjung tinggi agama dan syariat Islam, walaupun hanya dengan memberikan minum kepada bala tentara Islam. Setelah semua keluarganya, mulai dari suami dan kedua anak laki-lakinya berangkat terlebih dahulu bersama para pasukan Islam yang lain.

Sampai di Uhud, ia menjalankan tugasnya dengan baik. Ia membagikan air minum kepada bala tentara Islam. Setidaknya hal tersebut mampu menghilangkan sedikit dahaga dan menambah cairan tubuh yang terkuras, sekaligus untuk membuktikan bahwa ia adalah wanita pemberani yang tidak takut akan berkecamuknya peperangan. Namun, hal yang tak diinginkan terjadi. Ketika secara mendadak, pasukan musuh menyerang balik pasukan Islam dan menusuk pertahanan tentara Islam, hingga mampu menjebol benteng pertahanan yang di dalamnya terdapat komandan pasukan Islam Rasulullah.

Melihat nyawa sang kekasih yang ada di hadapannya sedang terancam, Nusaibah tak tinggal diam. Kecintaan yang mendalam terhadap sosok nabi terakhir itu menuntutnya untuk mengambil sebilah pedang dan menghadang musuh yang hendak menyerang dan membunuh Rasulullah. Tebasan pedang yang mendekati tubuh sang kekasih ia hadang dan tahan dengan kemampuan berperang yang baru saja ia dapatkan. Hingga akhirnya, ia harus mengorbankan dirinya saat tebasan pedang musuh mengenai lehernya dan meninggalkan luka yang membekas.

Melihat sayatan luka yang dalam, para sahabat mengingatkannya untuk menghentikan aksinya, namun benih cinta yang telah tumbuh dalam dirinya telah membutakan semua peringatan itu. Sekali lagi, ia tidak ingin hidup nyaman sementara kekasihnya terancam.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H), dalam salah satu kitabnya menceritakan sebuah riwayat perihal Nusaibah. Saat ditanya perihal luka-luka yang menyayat badannya, ia menceritakan kisah heroiknya ketika melindungi Rasulullah. Dalam kitab al-Ishabah disebutkan:

“Ketika para sahabat kocar-kacir dalam peperangan Uhud, aku memberanikan diri untuk menyibakkan pedang dan melontarkan anak panah untuk melindungi Rasulullah dari serangan musuh. Ketika musuh Allah, Ibnu Qami’ah berhasil merangsek masuk ke dalam pertahanan hingga mendekati Rasulullah, aku pun berlari dan menghalangi langkah dan maksud buruknya. Dengan sekuat tenaga, aku melawannya. Namun, perlawananku tak membuahkan hasil karena dia memakai pelindung dan tameng di sekujur tubuhnya sehingga sabetan pedangnya pun mengenai leherku dan meninggalkan gores luka yang sangat dalam.” (Imam Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah, [Beirut, Darul Jaili: 1412], juz VIII, halaman 265).

Saksi mata yang juga turut hadir dalam heroiknya perang Uhud kala itu memberikan pernyataan akan kegigihan dan pengorbanan Nusaibah dalam melindungi Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

“Sungguh aku melihat Nusaibah saat itu berjibaku dalam menangkis serangan Ibnu Qami’ah yang bermaksud membunuh Rasulullah. Hingga ia terkena sabetan pedang yang tepat mengenai lehernya. Sebanyak 13 bekas sabetan pedang di sekujur tubuhnya dan tangan yang hampir putus ialah bukti ketulusan cintanya kepada Rasulullah.” (Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqat al-Kubra, [Beirut, Darus Shadir], juz VIII, halaman 415).

Menurut Syekh Yusuf (wafat 1384 H), di saat yang bersamaan Nusaibah mendapatkan apresiasi luar biasa dari Rasulullah. Beliau mengakui kegigihannya. Bahkan, ketika Rasulullah ditanya kejadian perang Uhud serta peran dari Nusaibah bint Ka’ab, beliau bersabda:

مَا الْتَفَتُّ يَمِيْناً وَلَا شِمَالاً إِلَّا وَأَنَا أَرَاهَا تُقَاتِلَ دُوْنِيْ

Artinya: “Tidaklah aku menoleh ke sisi kanan maupun kiri, melainkan aku melihat dia (Nusaibah) berperang untuk melindungiku.” (Syekh Yusuf, Hayatu as-Shahabah, [Muassasah ar-Risalah: 1999], juz II, halaman 130).

Kecintaannya kepada Rasulullah yang telah menjalar dalam diri Nusaibah binti Ka’ab terbalas dengan pujian sang kekasih kepadanya. Dalam beberapa riwayat Rasulullah memujinya melebihi beberapa sahabat laki-laki yang berperang saat itu:

لَمَقَامُ نُسَيْبَةَ بِنْتِ كَعْبٍ الْيَوْمَ خَيْرٌ مِنْ مَقَامِ فُلَانٍ وَفُلَانٍ

Artinya: “Sungguh tingkat dan kedudukan Nusaibah binti Ka’ab hari ini (Perang Uhud), lebih mulia dari orang-orang tersebut (menunjuk para komandan perang dari kalangan laki-laki).” (Syamsuddin ad-Dzahabi, Siyaru A’lami an-Nubala, [Muassasah ar-Risalah: 1985], juz II, halaman 278).

Demikian potret cinta yang tergambar dari sosok Nusaibah. Ketulusannya membuat Rasulullah membalas cintanya dengan perhatian dan kegembiraan atas keselamatannya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan:

“Pasca-perang Uhud dan kepulangan Rasulullah dari daerah Hamra’ al-Asad, beliau tak bisa beristirahat dengan tenang sebelum mengutus salah seorang sahabatnya, Abdullah bin Ka’ab (saudara Nusaibah) untuk mengecek kondisi Nusaibah. Hingga beliau mendapat kepastian akan keselamatannya. Sambil ditemani rasa lega dan gembira atas keselamatan Nusaibah, beliau pun beristirahat dengan tenang.” (Al-Asqalani: VIII/265).

Demikian sekilas sejarah sahabat wanita Nusaibah bint Ka’ab. Perjuangannya untuk sang kekasih sangat besar, bahkan nyawa hampir menjadi taruhannya. Ia tidak peduli akan dirinya sendiri atau keselamatannya; yang penting Rasulullah dalam keadaan selamat, ia rela sekalipun harus menukar nyawanya.

Cinta sejati seperti itulah yang tergambar pada sosok Nusaibah. Ia tidak memperhitungkan apa yang diberikan kepada kekasihnya. Sepanjang bisa membuat bahagia kekasihnya, apapun akan dilakukan untuk meraih kebahagiaan itu.

Jika selama ini kita mengenal sosok Sayyidah Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah dengan penuh kesabaran dan istri-istrinya yang salehah serta menjadi ibu dari semua orang-orang beriman (ummahatul mu’minin), maka tidak ada salahnya jika kita mengenal salah satu sosok wanita lain yang sangat berperan dalam perjuangan Rasulullah saat perang Uhud.

Sebagaimana jamak diketahui bersama, wanita memiliki peran besar dalam perkembangan Islam, baik di masa-masa dikenalkannya Islam oleh Rasulullah hingga masa saat ini. Mereka selalu andil dalam mewarnai ajaran samawi ini.

Dalam banyak catatan sejarah, wanita tidak hanya berperan di belakang panggung atau bersembunyi di balik peran seorang lelaki. Terkadang beberapa dari mereka memiliki peran yang tak kalah pentingnya dari peran lelaki.

Di antara sekian banyak wanita itu adalah Ummu Imarah Nusaibah binti Ka’ab. Salah satu sahabat wanita yang berjumpa dengan Rasulullah dan beriman pada ajaran yang dibawanya. Kiprah dan peran wanita ini dalam perkembangan Islam layak mendapatkan apresiasi dan julukan; petarung wanita yang kuat.

Jika selama ini petarung hebat hanya muncul dari sosok seorang laki-laki, maka semua itu tidaklah benar. Pada masa Rasulullah ada salah satu wanita yang juga hebat dalam berperang melawan orang-orang kafir yang memusuhi nabi saat itu.

Salah satu pakar sejarah Islam abad ke-13, Imam Khairuddin Mahmud bin Muhammad az-Zarkili ad-Dimisyqi (wafat 1396 H), menisbatkan julukan tersebut kepada sahabat wanita ini dalam kitabnya:

أُمُّ عِمَارَة نُسَيْبَة بِنْتِ كَعَب بِنْ عَوْفِ، مِنْ بَنِي النَّجَّارِ: صَحَابِيَّةُ، اِشْتَهَرَتْ بِالشَّجَاعَةِ

Artinya: “Ummu Imarah Nusaibah binti Ka’ab bin A’uf dari distrik an-Najjar. Salah seorang sahabat wanita yang terkenal keberaniannya. Ia tergolong sebagai prajurit perang pemberani dan patriotik.” (Imam az-Zarkili, al-A’lam li Asyhuri ar-Rijali wa an-Nisai min al-Arabi wa al-Musta’rabin wa al-Mustasyriqin, [Darul Ilmi: 2002], juz VIII, halaman 19).

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?