Juwairiyah binti Harits bin Dhirar bin Hubaib bin Khuzaimah al-Khuza’iyah al-Musthaliqiyah, putri dari pemimpin Klan Musthaliq, Harits bin Dhirar, merupakan wanita yang sangat beruntung karena dinikahi oleh Rasulullah saw pada bulan Sya’ban bersamaan dengan peristiwa Perang Bani Musthaliq.
Berdasarkan pendapat yang lebih benar (asḫaḫ) menurut Sejarawan Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Rahiqul Makhtum, pernikahan tersebut terjadi pada Sya’ban tahun 6 H. Sementara itu, Nuruddin al-Halbi dalam Sirah al-Ḫalbiyah menyatakan bahwa pernikahan ini terjadi pada Sya’ban tahun 4 H. Ali Muhammad ash-Shallabi dalam as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardhu Waqa’ii wa Tahlilul Ahdats menyebut bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa pernikahan Nabi dengan Juwairiyah terjadi pada Sya’ban tahun 5 H. Ulama yang dimaksud antara lain Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Sa’ad, Ibnu Qutaibah, al-Baladzary, adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar al-Atsqalani, Ibnu Katsir, Alkadzri Bik, al-Ghazlai, dan al-Buthi.
Klan Musthaliq, bagian dari suku Khuza’ah, terlibat pertempuran dengan tentara Muslim karena beberapa alasan yang dikemukakan oleh ash-Shallabi. Pertama, mereka mendukung Quraisy dalam melawan kaum Muslim dan turut serta dalam Perang Uhud sebagai lawan. Kedua, mereka mendominasi jalur utama menuju Kota Makkah sehingga menjadi penghalang yang kuat bagi kaum Muslim untuk masuk ke kota suci itu. Ketiga, mereka menghimpun pasukan dan melancarkan serangan terhadap kaum Muslim yang diorganisir oleh Harits bin Abi Dhirar. Rasulullah yang mendengar kabar ini segera menggalang tentara Muslim dan bertemu di pangkalan air bernama Muraisi’ di daerah Qadid, sehingga pertempuran ini juga dikenal sebagai Perang Muraisi’.
Rasulullah saw menyinggung perang ini dalam satu haditsnya:
“إنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أغَارَ علَى بَنِي المُصْطَلِقِ وهُمْ غَارُّونَ، وأَنْعَامُهُمْ تُسْقَى علَى المَاءِ، فَقَتَلَ مُقَاتِلَتَهُمْ، وسَبَى ذَرَارِيَّهُمْ، وأَصَابَ يَومَئذٍ جُوَيْرِيَةَ.” Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhamad saw menyerang Bani Musthaliq secara mendadak saat kondisi musuh sedang lengah, yaitu ketika mereka sedang memberi minum hewan ternak mereka. Kemudian terjadilah perang hingga mereka banyak yang terbunuh dan tertawan, dan pada hari itulah Juwairiyah binti Harits bin Dhirar tertawan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tidak sedikit anak-anak dan perempuan yang dibawa oleh Klan Musthaliq dalam peperangan ini. Nabi tidak membunuh mereka melainkan hanya menjadikannya tawanan perang. Para tawanan dibagi kepada seluruh tentara Muslim yang terlibat dengan cara diundi. Kebetulan putri Harits bin Abi Dhirar bernama Juwairiyah jatuh di tangan Tsabit bin Qais bin Syams atau pada anak pamannya.
Juwairiyah adalah wanita yang sangat cantik rupawan sehingga setiap orang yang melihatnya pasti akan jatuh hati padanya. Kecantikannya bahkan membuat cemburu istri Nabi, Siti ‘Aisyah. Juwairiyah bermaksud untuk membebaskan dirinya dari status tawanan perang hingga akhirnya ia menemui Rasulullah untuk meminta bantuan. Tak disangka, Rasulullah justru menawarkan untuk menikahinya. Juwairiyah pun menerima penawaran tersebut.
Setelah pernikahan tersebut, para tawanan perang yang berada di tangan para sahabat sebanyak 100 orang dilepaskan karena status mereka sekarang sebagai kerabat Rasulullah. Mereka pun memeluk agama Islam karena kemurahan hati tersebut. Harits bin Dhirar juga akhirnya masuk Islam setelah putrinya menikah dengan Nabi dan pasukannya memeluk Islam.
Perang Bani Musthaliq dinilai sebagai pertempuran yang penuh berkah karena banyak membuat ratusan pasukan lawan memeluk agama Islam. Ash-Shallabi dalam as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardhu Waqa’ii wa Tahlilul Ahdats mengatakan:
“تعتبر غزوة بني المريسيع من الغزوات الفريدة المباركة التي أسلمت عقبها قبيلة بأسرها” Artinya: “Perang Bani Muraisi’ dianggap sebagai perang yang istimewa dan berkah karena setelahnya satu kabilah beserta seluruh penduduknya masuk Islam.”
Referensi:
- Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum, Riyadh: Muntada al-Tsaqafah, 2013
- Abil Farj al-Halbi, Sirah al-Ḫalbiyah, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2013
- Ali Muhammad ash-Shallabi, Sirah an-Nabawiyah ‘Ardhu Waqa’ii wa Tahlilul Ahdats, Beirut: Darul Ma’rifah, 2008