Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu periode paling berat dalam sejarah umat Muslim. Konflik internal yang berujung pada perang saudara menyebabkan ratusan ribu jiwa melayang. Salah satu pertempuran besar yang terjadi adalah Perang Shiffin, yang mempertemukan pasukan Ali dengan pasukan Muawiyah, gubernur Syam (Siria).
Muawiyah menuntut agar Ali menuntut balas atas pembunuh Utsman bin Affan, khalifah sebelumnya. Muawiyah dan penduduk Syam menolak membaiat Ali sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Meskipun penolakan Muawiyah tidak mengurangi legalitas Ali sebagai khalifah, hal ini memicu ketegangan karena Ali menilai tindakan Muawiyah sebagai pembangkangan terhadap pemerintah yang sah.
Perang Shiffin terjadi pada tahun 657 M dan berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Pasukan Ali terdiri dari sekitar 120.000 tentara, sedangkan pasukan Muawiyah berjumlah sekitar 90.000 tentara. Pertempuran ini menewaskan sekitar 70.000 orang: 45.000 dari pasukan Muawiyah dan 25.000 dari pasukan Ali.
Sejarawan Abdussyafi Muhammad Abdul Latif dari Universitas Al-Azhar Mesir menyatakan bahwa pertempuran ini merupakan malapetaka besar bagi umat Islam. Dalam waktu kurang dari satu tahun, umat Islam kehilangan seratus ribu jiwa akibat Perang Jamal dan Perang Shiffin.
Menyadari banyaknya korban jiwa, muncul gagasan untuk mengakhiri perang melalui Tahkim atau arbitrase, yang diusulkan oleh Amr bin Ash. Kedua belah pihak setuju untuk mengutus perwakilan guna berunding berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an). Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari, sementara Muawiyah mengutus Amr bin Ash. Namun, hasil Tahkim tidak menyelesaikan masalah karena keputusan mereka yang bias dan tidak memuaskan.
Kegagalan Tahkim menyebabkan retaknya solidaritas penduduk Irak. Sebagian mendukung Tahkim, sementara sebagian lainnya, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij, menentangnya dengan keras. Kelompok Khawarij mengkafirkan seluruh umat Muslim yang tidak sependapat dengan mereka, termasuk Ali dan Muawiyah, serta mendeklarasikan pembangkangan terhadap pemerintah yang sah.
Kelompok Khawarij melakukan pemberontakan dan menyebar teror di kalangan umat Muslim. Menyadari ancaman ini, Ali memutuskan untuk menghabisi kelompok Khawarij terlebih dahulu sebelum melanjutkan perang melawan Muawiyah. Terjadilah pertempuran yang dikenal sebagai Perang Nahrawan pada bulan Sya’ban 38 H.
Dalam pertempuran ini, banyak anggota Khawarij tewas terbunuh, hanya menyisakan segelintir orang. Meskipun jumlah mereka sedikit, mereka tetap menjadi ancaman bagi umat Muslim dan terus melakukan gerakan bawah tanah hingga era Bani Umayyah.
Referensi:
- Syamsuddin adz-Dzahabi, Tarîkhul Islâm, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 2006), juz II, halaman 209.
- Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Al-‘Alâmul Islâmi fil ‘Ashril Umawi Diraâsah Siyâsiyyah, (Kairo: Darusalam, 2008), halaman 77-88.
- Fawaz bin Farhan asy-Syamari, Shaḫîhu Akhbâri Shiffîn wan Nahrawan wa ‘Ami Jama’ah, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 2019), juz II, halaman 664.