Perjalanan dakwah Rasulullah dalam menyebarkan risalah yang diterima olehnya tidak segampang membalikkan tangan. Banyak rintangan yang harus dihadapi, baik dari keluarga dan koleganya, maupun dari masyarakat Semenanjung Arab yang tidak menyukai dakwahnya. Permusuhan dan sumpah serapah menjadi bagian dari tantangan yang harus dihadapinya.
Namun, berbagai ujian dan rintangan tersebut tidak membuat Rasulullah pasrah atau meninggalkan ajaran dan amanahnya. Beliau terus berdakwah meski akhirnya harus berujung pada peperangan. Perang pada masa Rasulullah merepresentasikan salah satu fase dakwah Islam pada masa itu dan bukan merupakan ketentuan hukum yang mendasari konsep jihad dalam Islam. Oleh karenanya, fase perang pada masa itu hanyalah bersifat defensif (bertahan/membela diri), bukan untuk menyerang.
Salah satu peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah adalah Perang Bani Mushthaliq. Menurut mayoritas ulama ahli sejarah, perang ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 5 Hijriah.
Pada mulanya, hubungan antara umat Islam dan orang-orang kafir Madinah berlangsung baik, ramah, dan tanpa kecurigaan. Namun, sebagai pembawa ajaran baru di lingkungan yang mayoritas menolak ajaran tersebut, Rasulullah tetap dicurigai. Mereka khawatir ajaran nenek moyang mereka terkikis oleh dakwah Rasulullah yang pesat dan takut agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad akan menyerang mereka.
Menurut Syekh Ali Muhammad ash-Shalabi, perang ini dipicu oleh adanya rencana jahat dari Bani Mushthaliq untuk menyerang umat Islam. Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk menyerang umat Islam di bawah pimpinan Harits bin Dhirar.
Bani Mushthaliq sangat yakin kemenangan akan berada di pihak mereka melihat jumlah umat Islam yang masih sedikit di Madinah. Beragam rencana telah mereka buat untuk melancarkan perang dengan singkat dan meluluhlantakkan umat Islam dalam satu kali serangan.
Kabar rencana jahat tersebut akhirnya sampai pada Rasulullah dan para sahabatnya. Sebelum umat Islam bersiap-siap menghadapi Bani Mushthaliq, Rasulullah mengutus sahabat Buraidah bin Hasib al-Aslami untuk mencari tahu kebenaran dan kenyataan rencana mereka sekaligus mencari tahu lokasi yang akan dijadikan tempat perang.
Setelah semua bukti nyata bahwa Bani Mushthaliq benar-benar akan menyerang umat Islam, Rasulullah langsung bergerak keluar dari Madinah dengan membawa 700 pasukan pejalan kaki dan 30 pasukan berkuda.
Sampai di lokasi perang, kedua belah pihak langsung berhadap-hadapan. Peperangan berlangsung sengit. Pada fase pertama, umat Islam sempat dipukul mundur oleh musuh. Namun, di saat berkecamuknya perang, Allah memberikan ketenangan kepada mereka dan memunculkan semangat kembali. Allah juga menghunjamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang musyrik sehingga mereka kalah, dan kesombongan mereka sirna. Sebagian dari mereka berhasil ditumpas oleh pasukan Muslimin, sementara sebagian lagi dijadikan tawanan perang.
Setelah peperangan selesai dan kemenangan diraih umat Islam, Rasulullah membagikan empat per lima harta rampasan perang (ghanimah) untuk pasukan Muslim. Prajurit pejalan kaki mendapat satu bagian dan prajurit berkuda mendapat dua bagian dari ghanimah yang dibagikan.
Dari kisah ini dapat diambil hikmah bahwa kemenangan tidak akan pernah berpihak kepada orang-orang yang sombong seperti yang terjadi pada Perang Bani Mushthaliq. Jumlah umat Islam yang sedikit namun disertai dengan keimanan dan ketakwaan kuat mampu mengalahkan jumlah musuh yang banyak. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
$ كَمْ مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ $
Artinya, “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Surat Al-Baqarah ayat 249).
Jumlah pasukan yang banyak tidak berarti jika disertai dengan kesombongan. Sebaliknya, pasukan sedikit yang memiliki keyakinan dan keimanan kuat kepada Allah akan mampu mengalahkan pasukan musuh yang besar.