- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Nikah Beda Agama: Antara Legitimasi dan Larangan dalam Islam

Google Search Widget

Argumentasi utama yang diajukan oleh pendukung nikah beda agama bagi wanita muslimah di masa sekarang adalah bahwa pernikahan seperti itu bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Mereka sering kali mengutip kisah putri Rasulullah saw, Sayyidah Zainab ra, yang menikah dengan Abul Ash bin ar-Rabi’. Namun, apakah argumentasi ini dapat diterima?

Argumentasi ini tidak bisa diterima secara ilmiah. Pernikahan putri Rasulullah saw dengan Abul Ash terjadi sebelum wahyu yang mengharamkan pernikahan beda agama turun. Setelah Perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 setelah hijrah, turun ayat 10 surat Al-Mumtahanah yang melarang pernikahan beda agama bagi wanita muslimah: “Lâ hunna hillul lahum wa lâ hum yahillûna lahunn” (wanita muslimah tidak halal bagi lelaki nonmuslim dan lelaki nonmuslim tidak boleh menikahi wanita muslimah).

Dalam masa Jahiliyah, Abul Ash bin ar-Rabi’ dikenal sebagai pribadi yang kaya, amanah, dan pintar berdagang. Sayyidah Khadijah ra membujuk suaminya, Rasulullah saw, untuk menikahkan keponakannya itu dengan putri pertama mereka, Zainab. Rasulullah saw setuju, dan pernikahan itu terjadi sebelum beliau menerima wahyu.

Setelah menerima wahyu, Zainab segera masuk Islam, sementara suaminya, Abul Ash, enggan untuk mengikuti. Pada titik ini, dapat dibenarkan bahwa nikah beda agama bukanlah hal baru dalam Islam. Banyak kasus serupa di awal Islam karena Islam baru hadir saat itu dan tidak semua orang yang sudah berkeluarga masuk Islam secara bersamaan dengan pasangannya.

Setelah Rasulullah saw mengenalkan Islam secara terang-terangan, orang-orang Quraisy segera menentangnya. Mereka memutus seluruh hubungan pernikahan yang berkaitan dengan putri-putri Nabi Muhammad saw. Utbah bin Abu Lahab, suami Ruqayyah binti Rasulullah saw, menceraikan istrinya setelah dibujuk dengan iming-iming wanita lain. Demikian pula Abul Ash dibujuk agar menceraikan Zainab, namun ia tidak tergiur dan tetap teguh pada cintanya.

Pada titik ini, Zainab telah menjadi seorang muslimah sementara suaminya masih dalam kekufurannya. Mereka hidup layaknya sebuah keluarga hingga Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Bahkan setelah hijrah, mereka tetap tinggal serumah sebagai pasangan suami istri beda agama.

Saat perang Badar tahun ke-2 setelah hijrah, Abul Ash ikut berangkat bersama kaum Quraisy dan tertawan oleh penduduk Madinah. Zainab menebus suaminya dengan hadiah pernikahannya dari ibunya, Sayyidah Khadijah ra. Rasulullah saw menyarankan para sahabatnya untuk melepaskan Abul Ash tanpa tebusan dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab dengan syarat Abul Ash membebaskan Zainab untuk hijrah ke Madinah.

Setelah bebas, Abul Ash mempersilakan istrinya untuk hijrah ke Madinah. Setelah persiapan yang cukup, Zainab berhasil hijrah ke Madinah untuk hidup bersama ayahnya. Kisah mereka tidak berhenti di situ. Menjelang Fathu Makkah tahun ke-8 setelah hijrah, Abul Ash berdagang ke negeri Syam dan terkena patroli tentara Madinah hingga harta dagangannya dirampas. Ia menyusup ke Madinah mencari Zainab untuk meminta perlindungan dan bantuan mengambil kembali hartanya. Usahanya berhasil dan ia pulang membawa harta dagangannya ke Makkah. Setelah menunaikan amanah bisnis, ia mendeklarasikan syahadat di depan kaum Quraisy.

Keislaman Abul Ash terjadi pada tahun ke-8 setelah hijrah. Setelah semua urusan bisnis selesai, Abul Ash hijrah ke Madinah dan Rasulullah saw menikahkannya kembali dengan Zainab dengan mahar dan akad yang baru.

Namun, pernikahan beda agama Zainab binti Nabi saw dengan Abul Ash bin ar-Rabi’ tidak dapat dijadikan argumentasi untuk melegitimasi praktek pernikahan seperti itu di zaman sekarang. Pernikahan mereka terjadi sebelum Nabi saw menerima wahyu yang melarang pernikahan beda agama bagi wanita muslimah. Ayat 10 surat Al-Mumtahanah yang melarangnya turun pada tahun ke-6 setelah hijrah.

Saat Abul Ash datang kembali ke Madinah pasca deklarasi keislamannya pada tahun ke-8 setelah hijrah, Nabi saw menikahkannya kembali dengan Zainab dengan akad nikah baru dan mahar baru karena pernikahan yang lampau telah batal dengan turunnya ayat 10 surat Al-Mumtahanah.

Dengan demikian, argumentasi pendukung nikah beda agama bagi muslimah dengan merujuk pada pernikahan di masa awal Islam menjadi gugur dengan sendirinya. Wallâhu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?