Al-Qur’an mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan, dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai Nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS Al-Qalam [68]: 4).
Menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (1999), kata “di atas” mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain seperti pada tahap atau dalam keadaan akhlak mulia.
Seperti dikemukakan di atas, Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 90 menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada Nabi Muhammad SAW:
“Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh.”
Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi SAW pasti memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau saat membagi harta rampasan perang. Beliau menahan amarahnya dan menyabarkan diri dengan berkata:
“Semoga Allah merahmati Musa AS. Dia telah diganggu melebihi gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih wajar bersabar daripada Musa AS).”
Riwayat lengkap mengenai akhlak Nabi Muhammad SAW diungkapkan oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah. Sanad hadits ini disebutkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Hadits itu juga dikeluarkan oleh Imam Thabarani dan Ibnu Asakir seperti yang terdapat dalam kitab Kanzul Ummal, dan oleh Baghawi dalam kitab al-Ishabah.
لا يتكلم في غير حاجة، طويل السكوت، يفتتح الكلام ويختمه بأشداقه، يتكلم بجوامع الكلم، فصل لا فضول ولا تقصير، دمث ليس بالجافي ولا المهين، يعظم النعمة وإن دقت لا يذم منها شيئا ولا يمدحه، ولا يقوم لغضبه إذا تعرض للحق شيء حتى ينتصر له.
“Rasulullah SAW tidak berkata-kata kecuali seperlunya, beliau lebih sering diam. Beliau memulai dan menyudahi pembicaraan dengan sepenuhnya, dan tidak bicara dengan bibir saja. Perkataannya singkat tetapi mempunyai makna dan hikmah yang dalam. Tidak mencela dan tidak pula memuji dengan berlebihan. Tidak ada seorang pun yang bisa melawan kemarahannya jika kebenaran didustakan sehingga beliau memenangkan kebenaran itu.”
Dengan kata lain, Nabi Muhammad tidak marah berkaitan dengan kepentingannya sendiri dan tidak pernah memberikan hukuman karena dirinya sendiri. Maka jelas konteks marahnya Rasulullah itu bukan karena soal dihina, tapi karena soal kebenaran yang dilanggar atau didustakan.
Rasul juga marah ketika ajaran Allah dinodai dengan cara melanggar atau mendustai ajaran Islam itu sendiri. Kemarahan Rasulullah tersebut semata-mata karena Allah SWT (Lillah).