Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bulan-bulan mulia dalam kalender Islam seringkali memuat kisah-kisah hebat. Bulan Rajab adalah salah satunya. Para sejarawan Muslim menyebutkan bahwa salah satu peristiwa besar yang terjadi pada bulan ini adalah awal mula nur nubuwah (cahaya kenabian) Rasulullah SAW yang diletakkan di rahim ibunya, Siti Aminah.
Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani dalam kitabnya, Al-Anwârul Muḫamamdiyah (yang disarikan dari kitab Mawâhibul Laddûniyah), menjelaskan bahwa ketika hendak menitipkan Nabi Muhammad dalam rahim Siti Aminah pada malam Jumat di bulan Rajab, Allah SWT memerintahkan Malaikat Ridwan (malaikat penjaga pintu surga) untuk membuka pintu Surga Firdaus sebagai bentuk penghormatan.
Pada saat itu, terdengar seruan malaikat yang terdengar di langit dan bumi, “Perhatian, sesungguhnya cahaya suci yang sejatinya adalah Nabi Muhammad, pada malam ini sudah berada dalam rahim Aminah. Muhammad adalah sosok yang mempunyai akhlak mulia yang sempurna dan diutus sebagai pembawa kabar gembira sekaligus peringatan.” (Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Al-Anwârul Muḫamamdiyah, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1997], h. 15).
Para ulama memang berselisih pendapat terkait kapan janin Nabi Muhammad mulai dikandung oleh Aminah. Namun jika merujuk pendapat ulama yang mengatakan Nabi lahir pada bulan Rabi’ul Awwal, maka jelas Nabi berada dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan dengan dimulai dari Rajab. Menurut Syekh Az-Zurqani dalam Syarah Mawâhibul Laddûniyah, pendapat ini sahih. (Az-Zurqani, Syarah Al-Mawahibul Ladduniyah, [Maktabah Syamilah Online], juz I, h. 257).
Dalam hadits Ibnu Ishaq dijelaskan bahwa Siti Aminah pernah menceritakan kisah saat dirinya sedang mengandung janin Nabi Muhammad. Ada suara tanpa rupa yang berkata padanya, “Sungguh engkau sedang mengandung seorang pemimpin umat.”
Aminah menimpali, “Aku tidak merasa bahwa diriku sedang hamil, juga tidak merasakan berat sebagaimana yang dirasakan oleh wanita hamil pada umumnya. Hanya saja, aku merasa janggal karena aku tidak mengalami datang bulan (salah satu ciri-ciri wanita hamil).” (Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, h. 15)
Berbicara tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW akan lebih lengkap jika kita ulas juga kesucian nasabnya yang terpelihara sejak zaman Nabi Adam AS. Dikisahkan bahwa begitu Allah SWT menciptakan Siti Hawa untuk menjadi pendamping Nabi Adam, keduanya pun menjalin hubungan hingga memiliki beberapa keturunan. Berkaitan dengan nur Muhammad, Nabi Adam sudah berwasiat kepada anaknya agar tidak sembarangan memberikan nur tersebut kecuali pada wanita suci.
Nur itu kemudian berpindah kepada Nabi Syit, salah satu putra Adam. Syit pun berwasiat kepada putranya agar nur tidak diberikan kepada wanita sembarangan. Wasiat ini terus terjaga dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga nur tersebut sampai ke Abdul Muthalib dan turun ke anaknya, Abdullah. Selama itu pula Allah SWT menjaga nasab Nabi Muhammad agar tetap suci sehingga tidak ada satu pun nenek moyang Nabi yang melakukan hubungan di luar pernikahan yang sah.
Banyak sekali hadits yang menegaskan terjaganya nasab Nabi Muhammad sejak Nabi Adam. Salah satunya adalah sabda Nabi berikut:
$ خَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ وَلَمْ أَخْرُجْ مِنْ سِفَاحٍ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى أَنْ وَلَدَنِي أَبِي وَأُمِّي، لَمْ يُصِبْنِي مِنْ سِفَاحِ الْجَاهِلِيَّةِ شَيْءٌ $
Artinya: “Aku lahir dari nikah dan aku tidak dilahirkan dari luar nikah sejak dari Adam hingga sampai aku dilahirkan oleh kedua orang tuaku, dan aku tidak menyentuh dari pernikahan orang-orang jahiliyah pada apapun.” (HR ath-Thabrani) (Ahmad bin Muhammad al-Qastalani, Mawâhibul Laddûniyah, [Bairut: Al-Maktab al-Islami, 2004], juz I, h. 85).
Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa pernikahan kakek-kakek Nabi hingga ayahnya sudah mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT. Sebab, ada saja peristiwa-peristiwa aneh terjadi menjelang pernikahan mereka. Misalnya kisah ‘isyarat langit’ sebelum Abdul Muthalib (kakek Nabi) dan Abdullah (ayah Nabi) menikah.
Dikisahkan, suatu malam Abdul Muthalib tidur di kamarnya. Begitu bangun, ia kaget karena melihat wajahnya tampak lebih tampan dan berwibawa dari sebelumnya. Ia bingung dan bertanya-tanya siapa yang melakukan ini. Akhirnya, ia dibawa ayahnya ke beberapa dukun Quraisy. Perlu diketahui bahwa sudah menjadi tradisi bangsa Arab jahiliah ketika ada perkara ganjil maka akan dikonsultasikan ke seorang dukun sebagai orang yang memiliki kemampuan khusus.
Semua dukun yang didatangi berkata bahwa ini merupakan pertanda Abdul Muthalib sudah waktunya untuk dinikahkan. Akhirnya, ia pun menikah dengan seorang perempuan bernama Qilah dan memiliki putra bernama Harits. Tidak lama kemudian istrinya meninggal dan ia menikah lagi dengan Hindun binti ‘Amr.
Menurut Al-Qastalani, peristiwa ganjil yang dialami Abdul Muthalib disebabkan karena nur Muhammad masuk ke dalam diri Abdullah. Sejak saat itu badannya bau minyak misik. Bahkan ketika orang Quraisy sedang dilanda paceklik, mereka akan meminta bantuan Abdul Muthalib untuk memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Dengan keberkahan nur Muhammad, hujan pun turun dengan derasnya. (Ahmad bin Muhammad al-Qastalani, juz I, h. 97-98).
Mengutip riwayat Ibnu Ishaq, Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wan Nihâyah mengisahkan bahwa sekali waktu Abdul Mutalib pergi bersama Abdullah untuk bertemu Wahab bin Abdu Manaf, ayah Siti Aminah. Di tengah perjalanan mereka bertemu seorang perempuan bernama Ummu Qannal, saudara perempuan Waraqah bin Naufal. Ada yang mengatakan namanya Qutailah dan ada pula yang menyebut namanya Fathimah binti Murrin al-Khtas’amiyah.
Rupanya dia bukan perempuan sembarangan melainkan pandai membaca kitab suci sebagaimana Waraqah bin Naufal. Ia mengetahui ada nur nubuwah dalam diri Abdullah. Lantas ia pun menawarkan Abdullah untuk tidur dengannya dan menjanjikan imbalan seratus ekor unta. Namun Abdullah menolak permintaan itu dengan tegas karena jelas itu perbuatan tidak terhormat.
Ummu Qannal tahu jika ia berhubungan badan dengan Abdullah maka nur nubuwah akan berpindah ke tubuhnya.
Abdullah pun melanjutkan perjalanan bersama ayahnya hingga bertemu dengan calon mertuanya Wahab bin Abdu Manaf. Ringkas kisah, Abdullah menikah dengan Aminah, seorang perempuan sangat terhormat di tengah-tengah kaumnya saat itu. Sejak berhubungan dengan Aminah, nur nubuwah yang ada pada diri Abdullah berpindah ke istrinya yang kemudian terlahir sebagai sang baginda Nabi Muhammad SAW. (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, [Giza: Dar Hajar, 1997], juz III, h. 348-349).
Demikianlah penjelasan singkat tentang kesucian nasab Nabi Muhammad SAW. Pembaca bisa lebih mendalaminya dalam kitab-kitab sejarah seperti Mawâhibul Laddûniyah karya Ahmad al-Qastalani, Al-Bidâyah wan Nihâyah karya Ibnu Katsir, Sîrah Al-Ḫalbiyah karya Nuruddin al-Halbi, dan lainnya.