- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Keimanan Abu Bakar as-Siddiq dalam Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Google Search Widget

Isra’ dan Mi’raj adalah salah satu peristiwa paling bersejarah dalam Islam yang penuh dengan kejadian luar biasa di luar nalar manusia. Salah satu contohnya adalah perjalanan sangat jauh yang ditempuh Nabi Muhammad dalam waktu yang sangat singkat. Tanpa dasar keimanan, sulit bagi seseorang untuk mempercayai dan mengimani Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disampaikan dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Orang-orang kafir Quraisy sering mencemooh dan menganggap peristiwa tersebut hanyalah dongeng yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Memang benar bahwa peristiwa tersebut tidak bisa diterima akal sehat, namun iman yang kuat akan selalu mempercayainya. Dari sinilah kisah sahabat Abu Bakar mendapatkan gelar as-Siddiq (orang yang paling benar).

Kisah ini bermula ketika orang-orang kafir Quraisy berniat mencemooh Nabi Muhammad kepada Abu Bakar. Mereka berharap Abu Bakar merasa malu telah mempercayai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ketika sampai di rumah Abu Bakar, mereka menceritakan perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Baitul Maqdis dalam waktu yang sangat singkat.

Mendengar berita tersebut, Abu Bakar tidak langsung membenarkan atau mengingkari, melainkan bertanya, “Apakah Rasulullah benar berkata demikian?”

“Iya,” jawab mereka. Orang-orang kafir Quraisy terus mendebat dan mengatakan bahwa Abu Bakar tidak waras karena mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal. Namun, dengan tegas dan penuh keyakinan, ia langsung berkata,

أَنَا صَدَقْتُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فَكَيْفَ أُكَذِّبُهُ فِي ذَلِكَ، مَادَامَ قَالَ فَقَدْ صَدَقَ

Artinya, “Sungguh saya telah membenarkannya perihal kabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra’). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar.”

Jawaban sahabat Abu Bakar di atas dijadikan gambaran oleh para ulama tafsir bahwa iman yang benar adalah iman yang tidak mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pembawa risalah, semua percaya dan iman padanya, sekalipun tidak masuk akal. (Syekh Mutawalli, Tafsir wa Khawathirul Umam lisy Sya’rawi, [Darul Imam, 1997), juz I, halaman 2707).

Demikian gambaran keimanan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq. Ia menjadi orang pertama yang iman akan adanya Isra’. Bahkan sebelum kabar tentang Mi’raj diceritakan kepadanya, ia langsung percaya sebagaimana jawabannya di atas.

Sayyidina Abu Bakar memang menjadi satu-satunya sahabat Rasulullah yang selalu mendampingi perjuangan dakwah Rasulullah sejak ia diangkat menjadi nabi. Bahkan ketika orang kafir Quraisy hendak membunuhnya, Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang pergi mendampinginya.

Keimanan Sayyidina Abu Bakar melebihi keimanan para sahabat yang lain, bahkan melebihi semua umat Nabi Muhammad. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat at-Tirmidzi dari sahabat Umar bin Khattab:

لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِي بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ الْأَرْضِ لَرَجَحَ إِيْمَانُ أَبِي بَكْرٍ

Artinya, “Seandainya keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan penduduk bumi, maka keimanan Abu Bakar akan unggul.” (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, [Beirut, Darul Fikr: 1993], juz IV, halaman 12).

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar at-Taimi yang lebih populer dengan sebutan Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H), dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa keimanan dalam diri sahabat Abu Bakar merupakan representasi dari firman Allah swt dalam surat Al-Anfal:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زادَتْهُمْ إِيماناً وَعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Artinya, “Sungguh orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (Surat Al-Anfal ayat 2).

Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu ayat-ayat Allah. Oleh karenanya, ketika Abu Bakar mendengar peristiwa itu, ia langsung membenarkan, keimanannya bertambah serta hilang keraguan dalam dirinya. (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats: 1420], juz XV, halaman 451).

Demikian gambaran betapa kuatnya keimanan Sayyidina Abu Bakar. Dengan mengetahui kisah ini, semoga kita dapat meneladani keimanannya yang kuat. Amin.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

April 24

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?