Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan momen fenomenal dalam sejarah peradaban manusia. Dalam perjalanan dari Makkah (Masjidil Haram) ke Palestina (Masjidil Aqsha), lalu mengarungi alam semesta hingga ke Sidratul Muntaha, semuanya terjadi dalam waktu satu malam. Rasionalitas sulit menerima kejadian ini karena pada masa itu, perjalanan dari Makkah ke Masjidil Aqsha memakan waktu sekitar satu bulan. Syekh Mutawalli Sya’rawi menyebut Isra Mi’raj sebagai mukjizat terbesar setelah Al-Quran dari lebih dari 3000 mukjizat yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad dan kekal hingga akhir zaman.
Menurut beliau, Isra’ Mi’raj adalah mukjizat aqli yang artinya kekal hingga akhir zaman dan tidak dapat dijelaskan secara rasional dan ilmiah. Kejadian ini hanya bisa dijangkau dengan iman, ketundukan hati, dan kepasrahan jiwa. Pengalaman Nabi Muhammad dalam Isra’ Mi’raj merupakan bagian dari keimanan karena tidak ada manusia yang melihat beliau melesat secepat kilat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha atau menembus langit ketujuh. Hal ini sama seperti tidak ada yang melihat Nabi menerima wahyu Al-Quran dari Allah melalui malaikat Jibril.
Ada kesamaan antara Isra Mi’raj dan Al-Quran dalam mekanismenya. Kebenaran turunnya Al-Quran sebagai wahyu dapat dibuktikan dengan nalar jernih dan akal sehat melalui analisis dan penghayatan kandungannya, bukan melalui pancaindra. Hal yang sama juga terdapat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Kebenarannya dapat dijangkau dan dibuktikan dengan nalar jernih serta akal sehat melalui penghayatan dan analisis cerita-cerita Isra Mi’raj.
Analisis jernih mengenai kebenaran Isra Mi’raj dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka filsafat sejarah Ibnu Khaldun yang tertuang dalam Muqaddimah-nya. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa struktur filsafat sejarah terdiri dari pelaku sejarah, substansi sejarah, dan pembaca sejarah. Pembaca sejarah harus menguasai kaidah periwayatan sejarah, karakteristik pelaku sejarah, tabiat yang ada, problematika perpecahan umat, dan hal-hal lainnya. Ilmu sejarah membutuhkan banyak rujukan, bermacam-macam pengetahuan, penalaran, dan ketelitian untuk mencapai kebenaran serta menghindari kesalahan.
Sejarah yang hanya didasarkan pada penukilan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip adat, kaidah-kaidah politik, tabiat peradaban, kondisi sosial masyarakat, serta yang gaib, dan tidak dianalogikan dengan masa kini, tidak aman dari kekeliruan dan menyimpang dari kebenaran. Prinsip-prinsip ini berfungsi untuk menimbang apakah sebuah informasi bisa dikategorikan sebagai fakta atau tidak, kemudian dirangkai menjadi alur sejarah dengan langkah yang benar. Sejarawan, mufassir, dan ulama bisa saja menyuguhkan riwayat keliru karena hanya menukil tanpa memilah mana yang benar, tidak menilai dengan kaidah-kaidah yang benar, tidak menganalogikan dengan peristiwa serupa, tidak menimbang dengan hikmat dan karakter alam, serta tidak menggunakan nalar dan ketajaman wawasan.
Akibatnya, mereka menyimpang dari jalan yang benar dan tersesat dalam pemahaman yang keliru. Dalam kondisi seperti ini, perlu dikembalikan lagi kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan.
Dengan berlandaskan pada kerangka kritik ini, Isra Mi’raj merupakan sesuatu yang benar adanya karena:
- Bersumber dari Al-Quran dan Hadits dengan jalur periwayatan lebih dari 20 jalur sahabat. Ini dalam perspektif ilmu hadis terkategori sebagai riwayat mutawatir dan dilalahnya qat’i al-tsubut.
- Walaupun di luar batas nalar manusia (ghaib), Isra Mi’raj muncul dari seseorang yang berpredikat nabi sehingga bukanlah khayalan atau kebohongan karena nabi terjaga dari kesalahan sebagaimana fakta sejarah bahwa beliau tidak pernah berbohong.
- Nabi Muhammad mampu melihat kondisi fisik bangunan Masjidil Aqsha secara detail seakan-akan masjid itu terlihat langsung di hadapannya. Padahal beliau belum pernah sampai ke sana.
- Fakta adanya tiga kafilah dagang Quraisy yang disebutkan oleh Nabi Muhammad menjadi kenyataan.
Empat hal di atas menunjukkan bahwa Isra Mi’raj walaupun di luar batas rasio manusia merupakan peristiwa nyata yang dialami oleh Nabi sebagai salah satu dari ribuan bukti kenabiannya. Siapa saja yang tidak percaya akan kejadian Isra Mi’raj dianggap runtuh imannya karena itu merupakan bagian iman kepada Al-Quran sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Isra’ dan Surat An-Najm: 5-18 bahwa Isra Mi’raj benar-benar terjadi.
Tulisan ini bersumber dari Hasiyah Dardiri Mi’raj, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Al-Mu’jizat al-Kubra: al-Isra wal Mi’raj, Nuruz Zhalam syarh Aqidatil Awam, dan Anwarul Bahiyyah min Isra wa Mi’raji Khairil Bariyyah.