Isra’ dan Mi’raj adalah salah satu peristiwa paling bersejarah dalam Islam, khususnya dalam perjalanan risalah Nabi Muhammad. Selain sebagai awal mula diwajibkannya shalat lima waktu, peristiwa ini juga menjadi salah satu mukjizat Rasulullah yang paling agung. Perjalanan yang sangat jauh dan sulit digambarkan dengan akal ini dapat ditempuh oleh Nabi Muhammad dalam waktu yang sangat singkat, sebuah kenyataan yang sulit diterima oleh akal tanpa landasan keimanan yang kuat.
Tidak heran jika peristiwa ini selalu diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya, khususnya pada tanggal 27 Rajab, mengikuti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi tepat satu tahun sebelum hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah, pada malam Senin, tanggal 27 Rajab. (Sayyid ath-Thanthawi, Tafsir al-Wasith li Al-Qur’anil Karim, [Mesir, Darun Nahdlah, cetakan pertama: 1998], juz I, halaman 259).
Isra’ adalah peristiwa ketika Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah peristiwa berikutnya, yaitu dinaikkannya Nabi Muhammad melintasi lapisan-lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan malaikat, manusia, maupun jin. Semua itu terjadi dalam satu malam.
Perjalanan Isra’ Nabi Muhammad diabadikan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an. Dia berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Surat Al-Isra’ ayat 1).
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tafsir, bahwa semua ayat yang dimulai dengan lafal subhana (Mahasuci) menunjukkan bahwa penjelasan atau khabar setelahnya merupakan peristiwa luar biasa yang tidak bisa dicerna oleh akal manusia yang serba terbatas. Hanya Allah yang tahu rahasia di balik semua itu, termasuk Isra’ Mi’raj. (Syekh Mutawalli, Tafsir wa Khawathirul Umam lisy Sya’rawi, [Darul Imam, 1997], juz I, halaman 5084).
Sedangkan peristiwa Mi’raj disebutkan dalam ayat lain. Allah berfirman:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (18)
Artinya: “Sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (Surat An-Najm ayat 13-18).
Dua surat di atas menjadi bukti akan kebenaran Rasulullah sekaligus menolak anggapan orang-orang kafir Quraisy yang menganggap bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan kisah tidak nyata yang dibuat-buat oleh Nabi Muhammad.
Ada dua pesan penting di balik peristiwa ini: untuk memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Isra’ ayat pertama dan An-Najm ayat 18. Lantas, apa saja tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada Nabi tersebut?
Sayyid ath-Thanthawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa tanda-tanda kebesaran Allah pada ayat di atas adalah segala sesuatu yang agung dan mulia serta tidak bisa dicerna oleh akal manusia dan tidak pula bisa dijelaskan oleh siapa saja yang melihatnya. Ini menunjukkan betapa mulianya Nabi Muhammad di sisi Tuhannya serta untuk menambah keyakinannya dalam menyampaikan risalah dan amanah-Nya.
Tanda-tanda itu antara lain, Rasulullah mampu melihat malaikat Jibril dengan wujud aslinya yang memiliki enam ratus sayap hingga bisa menutup langit. Allah juga memperlihatkan surga, neraka, dan beberapa keajaiban lainnya. (Ath-Thanthawi, 1998: I/259).
Apakah Rasulullah Melihat Allah?
Di antara pembahasan penting terkait Isra’ dan Mi’raj adalah apakah Rasulullah mampu melihat Allah atau tidak. Dalam hal ini, para ulama masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah mampu melihat Allah dengan penglihatannya, dan ada pula yang mengatakan tidak demikian.
Sayyid Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (wafat 1270 H) dalam tafsirnya dengan tegas mengatakan bahwa Rasulullah tidak melihat Allah pada peristiwa itu. Sebab, nash ayatnya; baik surat Al-Isra’ maupun surat An-Najm memberikan isyarat bahwa Allah swt hanya memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya, bukan Dzat-Nya. (Al-Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsiri Al-Qur’an was Sab’il Matsani, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats: 1415], juz XV, halaman 13).
Sedangkan pendapat sahabat Ibnu Abbas, Ikrimah dan Ka’bul Akhbar sebagaimana dikutip Imam Abu Hayyan al-Andalusi menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah pada peristiwa itu. Namun, pernyataan ini dipatahkan oleh riwayat Sayyidah Siti Aisah yang saat bertanya kepada Rasulullah tentang tanda-tanda yang dilihatnya pada malam Isra’ Mi’raj mendapat jawaban bahwa tanda-tanda itu adalah Malaikat Jibril (bukan Allah). (Al-Andalusi, Tafsir al-Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Fikr: 1420], juz VIII, halaman 156).
Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang lebih unggul adalah bahwa Rasulullah melihat Allah dengan kedua matanya,
فَالْحَاصِلُ أَنَّ الرَّاجِحَ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ بِعَيْنَىْ رَأْسِهِ لَيْلَةَ الْاِسْرَاءِ
Artinya: “Alhasil, pendapat yang unggul menurut mayoritas ulama adalah bahwa Rasulullah saw melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya pada malam Isra’.” (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats: 1392], juz III, halaman 5).
Syekh Nawawi Banten juga menyatakan hal serupa bahwa Rasulullah melihat Allah. Namun, penglihatan tersebut tidak seperti penglihatan manusia pada umumnya. Menurutnya, pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut Allah memberikan kekuatan pada kedua mata Rasulullah agar mampu melihat-Nya dengan penglihatan yang suci dan layak dengan Dzat-Nya Yang Mahasuci.
Syekh Nawawi juga mengutip pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang melihat Allah bukan kedua mata Rasulullah tetapi hatinya. Allah memberikan kekuatan kepada hatinya agar bisa melihat-Nya sebagaimana penglihatan mata. (Syekh Nawawi, Nurud Zhalam Syarah Manzhumati ‘Aqidatil ‘Awam, [Darul Hawi: 1416 H/1996 M], halaman 152).
Dengan memahami peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, semoga keyakinan dan keimanan kita akan kuasa Allah semakin bertambah dan tertanam dalam hati. Amin.