- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Abu Thalib: Paman yang Setia Membela Nabi Muhammad

Google Search Widget

Bulan Rajab mengingatkan kita akan duka yang dirasakan oleh Nabi Muhammad saw di tengah kekejaman kaum Quraisy yang semakin merajalela. Orang-orang tercinta Nabi meninggal dunia, termasuk Abu Thalib, pamannya yang selalu membelanya dengan penuh pengorbanan.

Sejak Abdul Muthalib, kakek Nabi, wafat, pengasuhan Nabi Muhammad yang masih kanak-kanak—baru delapan tahun dua bulan sepuluh hari—diserahkan kepada Abu Thalib. Kasih sayang Abu Thalib kepada Nabi begitu besar, bahkan ia mendahulukan kepentingan Nabi dibandingkan anak-anaknya sendiri. Kesetiaan dan kasih sayang Abu Thalib berlangsung selama lebih dari empat puluh tahun hingga ia wafat. Ia rela menyatakan permusuhan terhadap kerabat-kerabat yang berani menyakiti dan menentang Rasulullah.

Pernah suatu hari, kaum Quraisy meneror Abu Thalib dan mengancam akan membunuhnya jika tidak mau menghentikan aktivitas dakwah Nabi Muhammad. Meski sempat khawatir, Abu Thalib tetap tegar membela Nabi setelah dibujuk oleh Rasulullah. Ancaman kaum Quraisy ternyata hanya gertakan. Mereka kemudian mencoba cara lain dengan membawa Ammarah bin Walid bin Mughirah, seorang pemuda Quraisy yang tampan, untuk ditukar dengan Nabi Muhammad agar bisa dibunuh. Namun, Abu Thalib menolak tegas tawaran itu.

Akhirnya, Abu Thalib jatuh sakit dan kondisinya semakin parah hingga wafat pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari kenabian. Ada pendapat lain yang mengatakan ia wafat pada bulan Ramadhan, tiga bulan setelah wafatnya Siti Khadijah. Saat detik-detik kematiannya, Rasulullah berada di sampingnya dan berkata, “Wahai paman, ucapkanlah lâ ilâha illallâh, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujah di sisi Allah.” Namun, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi yang juga berada di situ menyela, sehingga kalimat terakhir yang keluar dari mulut Abu Thalib adalah tetap pada agama Abdul Muthalib.

Mengenai status keimanan Abu Thalib, ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan tidak beriman karena tidak mengucapkan kalimat syahadat hingga detik terakhir kewafatannya. Hadits Nabi juga menyebutkan bahwa Abu Thalib berada di bagian neraka yang dangkal karena intervensi Nabi Muhammad.

Namun, kelompok ulama Asy’ariyah meyakini bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman. Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan menulis kitab khusus untuk membantah tuduhan bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir. Menurut Al-Barzanji, keengganan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat pada detik-detik kewafatannya disebabkan khawatir akan keselamatan Nabi Muhammad. Ada kemungkinan bahwa Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat saat menjelang wafatnya, sebagaimana kesaksian Abbas, seorang sahabat Nabi.

Al-Barzanji juga mencatat bahwa beberapa hadits menjelaskan bahwa Abu Thalib memperoleh syafaat Nabi, yang hanya bisa diperoleh oleh orang mukmin. Hadits yang mengatakan bahwa Abu Thalib mendapat siksa neraka paling ringan bukan karena kemusyrikannya tetapi sebatas dosa maksiat.

Kesimpulannya, pihak yang mengatakan bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan tidak beriman hanya berdasar interpretasi literal dari hadits-hadits Nabi. Namun, pemahaman yang lebih mendalam menunjukkan bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?