Setiap waktu yang dimuliakan dalam Islam seringkali menyimpan sejumlah peristiwa besar, termasuk bulan Rajab. Bulan ketujuh dalam penanggalan hijriah ini menyimpan peristiwa penting, salah satunya adalah Perang Tabuk, perang terakhir pada masa Nabi Muhammad saw.
Perang Tabuk merupakan konflik antara tentara Muslim melawan imperium Romawi yang terjadi pada bulan Rajab 9 H dan berakhir pada bulan Ramadhan di tahun yang sama. Meskipun tidak terjadi kontak fisik karena pasukan musuh menyerah sebelum bertempur, peperangan ini berlangsung selama 50 hari. Rinciannya, 20 hari tentara Muslim berada di Tabuk dan 30 hari untuk perjalanan pulang pergi dari Madinah ke Tabuk. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], h. 366)
Penaklukan kota Makkah (fatḫu makkah) merupakan puncak kemenangan umat Islam karena Makkah sudah berada dalam kekuasaan Muslim dan orang-orang musyrik berbondong-bondong memeluk Islam. Namun, ancaman besar masih ada dari imperium Romawi. Konflik antara Muslim dan Romawi mulai sejak terbunuhnya duta Rasulullah, Al-Harits bin Umair, oleh Syurahbil bin Amr al-Ghassani. Setelah itu, Rasulullah mengirim pasukan di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah untuk menyerang pasukan Romawi di Mu’tah. Sejumlah kabilah Arab kemudian mulai melepaskan diri dari Qaishar Romawi dan bergabung dengan umat Islam.
Romawi menyadari hal ini dan segera mengambil langkah untuk menghancurkan pasukan Muslim sebelum mereka menjadi terlalu kuat. Kabar rencana penyerangan ini sampai ke telinga umat Muslim di Madinah, membuat mereka gelisah dan khawatir jika suatu saat Romawi datang menyerang. Kekhawatiran ini diperparah dengan ulah orang-orang munafik yang menyebarkan desas-desus tentang persiapan pasukan Romawi.
Ketidakpastian informasi tersebut berakhir ketika sekelompok orang dari Syam datang ke Madinah membawa minyak dan mengabarkan bahwa Heraklius, raja Romawi, telah menyiapkan pasukan besar dengan kekuatan 40.000 prajurit. Kabilah-kabilah Arab Nasrani seperti Lakhm, Judzam, dan lainnya juga turut bergabung.
Menyadari kondisi genting ini, Rasulullah segera mengambil keputusan setelah pertimbangan militer yang matang. Beliau tidak ingin pasukan Muslim hanya menunggu di Madinah dan membiarkan Romawi menjarah wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Muslim. Rasulullah memutuskan untuk keluar dari Madinah dan menyerang imperium terkuat pada masanya itu. Beliau segera melakukan konsolidasi dengan mengirim utusan untuk mengajak kabilah-kabilah Arab bergabung, serta mengumumkan seruan perang secara langsung.
Setelah mendengar seruan ini, umat Muslim bersiap siaga dan berlomba-lomba memberikan sumbangan untuk kebutuhan perang. Utsman bin Affan menyumbang 900 ekor unta dan 100 ekor kuda, Abdurrahman bin Auf menyumbang 200 uqiyah perak, Abu Bakar menyerahkan semua hartanya senilai 4000 dirham, dan banyak lagi lainnya.
Setelah persiapan matang, pasukan Muslim bergerak ke arah utara menuju Tabuk dengan membawa 30.000 prajurit. Meskipun banyak sumbangan terkumpul, ternyata masih belum mencukupi untuk pasukan sebanyak itu. Karena kekurangan perlengkapan, delapan belas prajurit hanya mendapat satu ekor unta untuk digunakan bersama-sama. Bahkan untuk minum saja mereka harus menyembelih unta tersebut agar bisa mengambil air di punuknya dan dagingnya untuk dimakan. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 364-365)
Rasulullah menitipkan keluarganya di Madinah kepada Ali bin Abi Thalib. Orang-orang munafik mencoba menghasut Ali agar pergi perang dan meninggalkan ahlul bait, namun hasutan itu gagal. Rasulullah berkata kepada Ali, “Tidakkah engkau senang, hai Ali? Kau bagiku seperti kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku.” (Abdussalam Harun, Tahdzîbus Sîrah Ibnu Hisyâm, [Beirut: Muassasar ar-Risalah, 1985], h. 288)
Setibanya di Tabuk, Rasulullah berpidato di hadapan pasukan dan menyemangati mereka. Semangat mereka berkobar dan siap untuk bertempur. Di sisi lain, pasukan Romawi yang mendengar kabar bahwa Rasulullah telah menggalang pasukan besar merasa ciut sehingga tidak berani maju dan malah terpencar ke wilayah masing-masing.
Akhirnya, pihak musuh mengajak berdamai dengan membayar upeti. Dengan ini, kemenangan berada di pihak kaum Muslim meskipun tidak terjadi pertempuran. Sejak saat itu, pasukan Muslim semakin digdaya karena berhasil mengalahkan imperium raksasa Romawi. Kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya mendukung Romawi pun kini bergabung bersama pasukan Muslim. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 365-366)