- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Pentingnya Membawa Nama Allah SWT dalam Setiap Ikhtiar

Google Search Widget

Menghadirkan nama Allah SWT dalam setiap usaha adalah hal yang sangat penting. Hal ini tergambar dalam kisah Nabi Musa ketika berusaha mengobati penyakitnya. Dalam tafsir Imam Ar-Razi yang dijelaskan oleh Nadirsyah Hosen (2020), terdapat riwayat yang mengisahkan aspek spiritual dari kalimat bismillah.

Nabi Musa pernah merasakan sakit di perutnya dan mengadu kepada Allah. Allah kemudian menyuruhnya mengambil sejenis daun di padang pasir. Setelah Nabi Musa mengunyah daun tersebut, ia pun sembuh dengan izin Allah. Namun, ketika sakit perut itu kambuh, Nabi Musa langsung mengunyah dedaunan tersebut tanpa meminta petunjuk dan izin dari Allah, dan akhirnya sakitnya malah bertambah parah.

Nabi Musa kembali mengadu kepada Allah: “Ya Rabb, waktu kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Tapi, kali kedua tidak hanya nggak sembuh, tapi malah bertambah parah.” Allah menjawab: “Kali pertama kamu datang mengadu kepada-Ku memohon kesembuhan. Tapi, pada kali kedua kamu langsung saja mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”

Kisah ini menunjukkan bahwa setiap tindakan memerlukan pendidikan batin dengan tetap berdoa kepada Allah, meskipun tindakan tersebut adalah sesuatu yang biasa kita lakukan. Dalam setiap amal kebaikan yang kita lakukan, penting untuk tetap memohon ridha Allah.

Pandangan keagamaan terhadap wabah bukanlah pemahaman tunggal. Dalam sejarah pemikiran Islam, Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib (1313-1375), seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad ke-5 di masa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14, memperkenalkan ‘Teori Contagion’. Berdasarkan pengalaman dari pengamatan atas wabah Black Death yang menimpa Eropa termasuk Andalusia di abad ke-14, al-Khatib menolak pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah penyakit menular. Baginya, penyebab wabah harus dibuktikan melalui data, penelitian, renungan, dan penglihatan secara mendalam.

Peristiwa tersebut menunjukkan dua corak pemikiran yang saling berseberangan. Pertama, adalah corak pemikiran yang berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi atau fiqih. Kedua, adalah corak pemikiran yang terbuka kepada kajian empirik sehingga jawabannya mengalir dari bukti, bukan atas dasar penerimaan secara dogmatik.

Sebuah kisah dari zaman kekhalifahan Umar bin Khattab juga menggambarkan pentingnya memadukan iman dan rasionalitas dalam menghadapi wabah. Pada masa pemerintahan Umar, terjadi wabah yang bermula di daerah Awamas dan menyebar hingga ke Syam (Suriah) dan Irak. Ketika Sayidina Umar dan pasukannya disarankan untuk berbalik, salah seorang sahabat bertanya apakah mereka akan lari dari takdir Allah. Umar menjawab bahwa mereka lari dari takdir Allah yang satu (buruk) ke takdir Allah yang lain (baik).

Sahabat Abdurrahman bin ‘Auf memperkuat Khalifah Umar dengan menyampaikan sabda Nabi Muhammad SAW: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)

Wabah tersebut akhirnya berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr mampu menyelamatkan Syam dari wabah dengan menyarankan orang-orang berlindung di bukit-bukit hingga sebaran wabah mereda.

Kisah-kisah ini menegaskan bahwa dalam setiap ikhtiar, baik menghadapi penyakit maupun bencana lainnya, penting untuk selalu melibatkan nama Allah SWT dan memohon petunjuk-Nya. Di samping itu, kita juga diajarkan untuk menggunakan akal dan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ikhtiar yang sejalan dengan kehendak-Nya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

April 24

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?