Rasulullah SAW memang seorang manusia, namun kedudukannya belum pernah dimiliki oleh manusia manapun. Seorang penyair pernah berkata, “Muhammad adalah seorang manusia, tapi bukan seperti manusia pada umumnya. Dia bagaikan yaqut (sejenis permata) di antara bebatuan.” Salah satu yang membuat kemuliaan pada diri Nabi adalah nasab luhur yang dimilikinya.
Penyair Arab legendaris Muhammad bin Sa’id Al-Bushiri, atau lebih dikenal sebagai Imam Al-Bushiri, berkata dalam syairnya:
نَسَبٌ تَحسِبُ العُلا بِحُلاهُ # قَلَّدَتْهَا نُجُومَهَا الْجَوْزَاءُ
“Rangkaian nasab yang berkedudukan tinggi, laksana barisan bintang-bintang yang saling terkait.”
حَبَّذَا عِقْدُ سُودُدٍ وَّفَخَارٍ # أَنْتَ فِيْهِ الْيَتِيْمَةُ الْعَصْمَاءُ
“Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu, dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya.”
Seorang sahabat Nabi yang juga penyair ternama, Hassan bin Tsabit, sampai mengumpamakan penciptaan Rasulullah atas dasar kehendak sendiri, sehingga bisa memiliki segala kesempurnaan. Nasab terbaik, tampang yang rupawan, dan budi pekerti yang luhur, semuanya ada pada diri sang nabi. Dalam gubahan syairnya, Hassan bersenandung:
وأَحسنُ منكَ لم ترَ قطُّ عيني # وَأجْمَلُ مِنْكَ لَمْ تَلِدِ النّسَاءُ
“Belum pernah ada mata yang melihat sosok seindah dirimu (Muhammad), belum pernah ada seorang perempuan yang melahirkan orang serupawan dirimu (Muhammad).”
خلقتَ مبرأً منْ كلّ عيبٍ # كأنكَ قدْ خلقتَ كما تشاءُ
“Engkau tercipta terbebas dari segala kekurangan, seolah kau memilih sendiri bentuk yang kau kehendaki.”
Dalam beberapa hadits juga ditegaskan bahwa Nabi mengatakan nasabnya merupakan nasab yang paling luhur. Imam Suyuti dalam menafsirkan surat At-Taubah ayat 128 mengutip salah satu hadits Nabi:
أَنا أَنفسكُم نسبا وصهراً وحسباً لَيْسَ فيَّ وَلَا فِي آبَائِي من لدن آدم سفاح كلهَا نِكَاح
Artinya: “Aku adalah manusia yang paling luhur nasabnya, mushaharahnya (pernikahan), dan kedudukannya. Tidak pernah terjadi hubungan zina pada kakek-kakekku, tapi semuanya berhubungan atas pernikahan yang sah,” (HR Marduwaih) (As-Suyuti, Ad-Durrul Mantsûr, [Beirut: Darul Fikr, 2015], juz IV, h. 244).
Untuk memahami keluhuran nasab Rasulullah, kita harus mengenal keluarganya. Keluarga Nabi dikenal dengan Hasyimiyah, dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, Hasyim bin Abdu Manaf. Untuk mengenal silsilah keluarga Nabi secara utuh, kita bisa menelusuri biografi masing-masing kakeknya. Pada pemaparan ini, penulis akan menjelaskan tiga nasab terdekat, yaitu Hasyim, Abdul Muthalib (kakek kedua Nabi), dan Abdullah (ayah Nabi).
Hasyim
Nama asli Hasyim adalah Amr. Ia mendapat kepercayaan untuk memberi air minum (as-siqayah) dan melayani makanan (rifadhah) bagi jemaah haji yang datang dari segala penjuru. Tugas ini merupakan amanah mulia untuk merawat kota Makkah. Hasyim mendapatkan tugas ini dari Bani Abdu Manaf ketika mereka mengikat perjanjian dengan Bani Abdi Dar dalam pembagian kedudukan.
Hasyim memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya dan kaya raya. Selain itu, ia juga seorang dermawan. Ia merupakan orang pertama yang memberi makanan kepada jemaah haji di kota Makkah berupa remukan roti bercampur kuah. Karena sering meremukkan roti, ia pun dipanggil ‘Hasyim’. Ia juga membuka jalur perdagangan bagi orang Quraisy sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu pada saat musim dingin dan musim kemarau.
Suatu waktu, Hasyim pergi berdagang ke Syam. Sesampainya di Madinah, ia menikahi seorang perempuan dari Bani Adi bernama Salma binti Amr. Setelah itu, Hasyim melanjutkan perjalanannya ke Syam sementara istrinya yang sedang mengandung tinggal bersama keluarganya. Kabar duka terdengar bahwa Hasyim meninggal dunia setelah sampai di Palestina.
Salma kemudian melahirkan putranya dan diberi nama Syaiban karena ada rambut putih (uban) di kepalanya. Kata ‘syaiban’ dalam bahasa Arab berarti uban. Pengasuhan putranya diserahkan kepada bapak Salma di Yatsrib. Hasyim memiliki empat putra: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah, dan Abdul Muthalib; serta lima putri: Khalidah, Dha’ifah, Ruqayyah, dan Jannah.
Abdul Muthalib
Nama asli Abdul Muthalib adalah Syaiban. Sepeninggal Hasyim, urusan air minum dan makanan untuk jemaah haji dipegang oleh Al-Muthalib bin Abdi Manaf (paman Syaiban), saudara Hasyim. Al-Muthalib merupakan laki-laki terpandang, dipatuhi, dan dihormati oleh kaumnya. Kedermawanannya membuat ia dijuluki ‘Al-Fayyad’ yang artinya sangat dermawan.
Begitu Abdul Muthalib sudah menjadi pemuda, Al-Muthalib membawanya ke Makkah dengan dibonceng mengendarai unta. Setibanya di Makkah, orang-orang mengira Syaiban adalah hamba sahaya Al-Muthalib. “Inilah dia Abdul Muthalib (hamba sahaya Al-Muthalib),” kata orang-orang. “Apa maksud kalian ini?! Dia itu keponakanku,” sanggah Al-Muthalib.
Di Makkah, Abdul Muthalib tinggal di rumah pamannya sampai tumbuh dewasa. Kabar duka terdengar ketika Al-Muthalib meninggal di Yaman. Sejak saat itu Abdul Muthalib menggantikan posisinya di Makkah dan memimpin kaumnya. Bahkan ia memiliki kedudukan lebih terhormat dibanding kakek-kakeknya terdahulu.
Abdullah
Abdullah adalah anak dari Abdul Muthalib dari ibu bernama Fatimah binti Amr bin A’idz bin Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. Ia adalah putra tersayang Abdul Muthalib di antara putra-putranya. Abdullah menikahi Aminah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, seorang wanita terpandang dari kalangan suku Quraisy karena nasab maupun kekayaannya. Wahb, ayah Aminah, adalah pemuka Bani Makhzum.
Abdullah wafat saat berdagang ke Syam pada usia 25 tahun, ketika Nabi masih dalam kandungan. Ia dimakamkan di Darun Nabighah al-Ja’di di Madinah. Dalam versi lain disebutkan bahwa ia wafat di Madinah saat ditugasi mengurus kurma di sana.