- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Islam dan Tradisi Lokal: Sebuah Harmoni yang Akomodatif

Google Search Widget

Islam bukanlah agama yang anti terhadap tradisi lokal. Sejak zaman Rasulullah saw, agama ini cenderung akomodatif terhadap tradisi setempat selama tidak bertentangan dengan syariat. Islam sangat terbuka dengan lingkungan di mana ia berada.

Sebelum Islam hadir di Makkah, masyarakat jahiliah sudah memiliki tradisi yang mapan. Walaupun belum tersentuh ajaran wahyu dari Rasulullah, bangsa Arab sudah memiliki budaya dan nilai moral yang luhur. Jadi, jangan langsung berpikir bahwa nilai moral pada masa itu sangat buruk dan jauh dari semangat moral ajaran Islam. Bangsa Arab jahiliah tetap memiliki budaya luhur, bahkan beberapa tradisi saat itu masih dilestarikan oleh Islam hingga kini.

Salah satu budaya lokal bangsa Arab jahiliah adalah menghormati bulan-bulan haram (asyhurul ḫurum) yang jumlahnya ada empat, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Sya’ban. Dinamakan ‘haram’ karena pada bulan tersebut dilarang melakukan peperangan dan perbuatan keji.

Sejarawan Jawad Ali dalam kitabnya, al-Mufasshal fi Tarîkhil ‘Arab Qablal Islâm, menjelaskan bahwa bangsa Arab jahiliah membagi bulan menjadi dua jenis. Pertama, bulan biasa (i’tiyâdiyah) yang berjumlah delapan, yaitu Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, dan Syawal. Kedua, bulan-bulan suci yang berjumlah empat, yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharam.

Untuk menjaga kemuliaannya, pada bulan-bulan tersebut masyarakat dilarang melakukan peperangan dan perbuatan keji. Berbeda dengan bulan lainnya, aktivitas peperangan masih diperbolehkan pada bulan biasa. Bahkan seorang laki-laki tidak boleh membalas dendam atas pembunuhan ayah atau saudaranya pada bulan mulia tersebut.

Asal mula tradisi penghormatan ini tidak lepas dari tabiat bangsa Arab Badui yang hidup dalam kondisi sosial penuh ketegangan. Mereka membutuhkan waktu jeda untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak bisa diselesaikan dalam kondisi masyarakat yang tidak stabil. Maka ditetapkanlah empat bulan tersebut sebagai waktu jeda. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh bangsa Arab secara umum.

Tradisi penghormatan terhadap bulan-bulan haram ini masih tetap eksis dalam ajaran Islam hingga hari ini. Jika pada masa jahiliah bentuk penghormatannya dengan larangan perang dan perbuatan keji, maka pada masa Islam dengan berbagai keistimewaan yang dijanjikan pada bulan tersebut seperti pelipatgandaan pahala amal shaleh, anjuran berpuasa, penekanan untuk menghindari dosa, dan banyak lainnya.

Allah swt dalam Al-Qur’an berfirman:

$ text{إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ $

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah [9]: 36)

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharam merupakan bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam. Perbuatan maksiat pada bulan-bulan tersebut akan mendapatkan balasan siksa lebih berat dibanding bulan lainnya. Demikian pula perbuatan baik akan mendapat pahala lebih besar.

Selain disebutkan dalam Al-Qur’an, penegasan ini juga disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

$ text{إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ $

Artinya: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam tradisi Islam, mengistimewakan amal shaleh berdasarkan waktu dan tempat tertentu memang banyak ditemui. Seperti mengistimewakan kota suci Makkah dibanding kota atau negara lainnya, hari Jumat dibanding hari-hari pada umumnya, hari ‘Arafah dibanding hari yang lain, bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lain, malam lailatul qadar dibanding malam-malam lain, dan sebagainya.

Keistimewaan empat bulan haram banyak dijelaskan dalam berbagai hadits Nabi. Tidak sedikit ulama yang menulis kitab khusus tentang keutamaannya seperti Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya Tabyînul ‘Ajab bi Mâ Warada fî Fadhli Rajab yang menghimpun hadits-hadits seputar amalan pada bulan Rajab dan keutamaannya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?