Perhatian cendekiawan Muslim terhadap kajian sirah nabawiyah dari dulu hingga sekarang sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan penulisan kitab-kitab yang memuat kisah hidup Nabi Muhammad SAW sejak lahir hingga wafat, bahkan beberapa ulama menulis rangkaian peristiwa historis terkait sebelum Nabi lahir.
Penulisan kitab sirah nabawiyah secara garis besar dibagi menjadi dua fokus. Pertama, penulisan secara komprehensif dari Nabi lahir hingga wafat. Kedua, penulisan dengan mengambil fokus sudut pandang tertentu. Pada fokus kedua, ulama biasanya lebih detail karena ruang kajiannya lebih sempit dan spesifik. Ada kitab yang fokus menulis ciri-ciri fisik dan moral Nabi yang disebut Asy-Syamail al-Muhammadiyah. Ada juga kitab yang fokus pada pembahasan perang-perang semasa hidup Nabi beserta hal-hal terkait dengannya yang disebut al-maghazi.
Selain itu, ada kitab yang membahas hal-hal yang hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad dan tidak dimiliki oleh nabi dan umat lainnya yang disebut al-khashaish al-muhammadiyah. Lalu, ada kitab yang fokus membahas mukjizat-mukjizat Nabi yang disebut dala’il an-nubuwah.
Syamail al-Muhammadiyah
Kitab sirah nabawiyah dalam kategori syamail al-muhammadiyah fokus membahas tentang akhlak, keseharian, keutamaan, dan kegiatan Nabi Muhammad SAW. Dengan fokus kajian demikian, syamail al-muhammadiyah lebih menonjolkan sifat-sifat luhur Nabi sehingga menambah kecintaan dan pengagungan seorang Muslim kepada Baginda Nabi. Dengan begitu, hal ini menjadi sebab seseorang untuk mengikuti petunjuk, sunah, dan mengagungkan syariat serta agama Islam.
Dengan mengagungkan syariat dan agama Islam, akan berdampak pada kesetiaan Muslim tersebut untuk mengamalkan ajaran-ajaran di dalamnya. Jika sudah mengamalkan, berikutnya ia akan memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat dan ridha dari Allah SWT.
Fokus kajian syamail al-muhammadiyah sebenarnya sudah dimulai oleh ulama-ulama terdahulu dan menjadi salah satu pembahasan dalam kitab-kitab hadits yang menjelaskan keseharian Rasulullah, baik ibadahnya, interaksi sosialnya, dan nilai-nilai moral beliau. Termasuk hal-hal yang lebih sederhana seperti cara Nabi makan, minum, berpakaian, perabotan, kendaraan, senjata perang, dan lain sebagainya. Mengkaji hal-hal demikian merupakan bagian dari sunah Nabi.
Seiring berjalannya waktu, para ahli hadits dan cendekiawan Muslim mulai menulis kajian syamail al-muhammadiyah dengan fokus tersendiri, tidak dicampur dengan pembahasan lain sebagaimana dilakukan ulama hadits sebelumnya. Ulama yang mempelopori hal ini adalah Abul Bakhtari Wahab bin Wahab al-Asadi (wafat 200 H) dengan kitabnya yang berjudul Shifatun Nabiyyi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Madaini (wafat 224 H) dengan kitabnya yang berjudul Shifatun Nabi.
Berikutnya adalah Imam At-Tirmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya yang berjudul Asy-Syamail al-Muhammadiyah, Dawud bin Ali al-Ashbihani (wafat 270 H) dengan kitabnya yang berjudul Asy-Syamail al-Muhammadiyah, Ismail al-Qadli al-Maliki (wafat 282 H) dengan kitabnya yang berjudul Al-Akhlaq al-Muhammadiyah, Abul Hasan Ahmad bin Faris al-Lughawi (wafat 295 H) dengan kitabnya yang berjudul Akhlaqun Nabi.
Hingga pada abad-abad berikutnya, muncul banyak ulama dengan fokus syamail al-muhammadiyah. Seperti kitab-kitab model ash-shihah, as-sunan, dan al-masanid. Ciri model ash-shihah adalah kitab yang penulisnya menghimpun hadits-hadits shahih, menghindari yang dha’if, dan urutan penyusunannya yang tematik (sesuai tema) seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Sementara model as-sunan adalah kitab yang penulisnya menghimpun hadits-hadits secara tematik. Berbeda dengan model ash-shihah yang lebih selektif, as-sunan mengakomodir sebagian hadits-hadits dha’if sebagaimana dilakukan oleh Imam At-Tirmidzi dan Abu Dawud.
Sedangkan model al-masanid adalah kitab yang penyusunan haditsnya sesuai dengan nama sahabat Nabi, tanpa mempertimbangkan kualitas hadits dan urutan temanya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Ahmad dan Imam Al-Humaidi.
Dengan demikian, kitab syamail al-muhammadiyah terhitung sebagai rujukan pokok dalam mengkaji sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Sehingga tidak mungkin seorang ulama yang menulis kitab sirah nabawiyah tanpa merujuk pada kitab-kitab tersebut.
Dalail an-Nubuwah
Para ulama mengatakan bahwa kitab sirah nabawiyah dengan kategori ad-dalail an-nubuwah sebagai dalil (hujah) kuat dan jelas yang menjelaskan kejujuran, status kenabian Nabi Muhammad SAW, dan universalitas risalahnya. Pembahasan ad-dalail an-nubuwah sangat luas karena berkaitan dengan banyak kajian sirah nabawiyah secara umum, baik dengan asy-samail, al-maghazi, dan lain sebagainya.
Ada yang mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan Al-Qur’an yang berkaitan dengan sirah nabawiyah termasuk dalam ad-dalail an-nubuwah.
Lebih jauh, sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk fisik dan moral Nabi baik yang zahir maupun batin, bahkan seluruh aspek dalam diri Nabi, termasuk dalam kategori ad-dalail an-nubuwah karena sifat-sifat manusia yang ada dalam diri Nabi merupakan bentuk yang paling sempurna (berbeda dengan manusia pada umumnya).
Ad-dalail an-nubuwah terbagi menjadi dua, yaitu ma’nawiyah (abstrak) dan hissiyah (fisik). Yang termasuk jenis ma’nawiyah adalah mukjizat yang tidak tampak jelas wujudnya secara fisik, seperti Al-Qur’an sebagai mukjizat paling tinggi, juga akhlak-akhlak Nabi seperti pemberani, zuhud, amanah, dan sebagainya.
Sementara yang hissiyah adalah mukjizat yang secara fisik tampak jelas oleh mata, seperti terbelahnya rembulan, jari-jemari memancarkan air, menggandakan makanan, pohon dan batu yang mengucapkan salam kepadanya, bersuaranya batang pohon kurma, dan lain sebagainya.
Banyak ulama yang menulis sirah nabawiyah dengan fokus kajian dalail an-nubuwah, seperti Muhammad Yusuf al-Faryani (wafat 212 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Al-Ma’mun al-Abbasi (wafat 218 H) dengan kitabnya yang berjudul A’lam an-Nubuwah, Al-Humaidi Abdullah bin Zubair al-Makki (wafat 219 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Ali bin Muhammad al-Madaini (wafat 225 H) Dalail an-Nubuwah Ayatun Nabi.
Berikutnya Abu Zar’ah Ubaidillah bin Abdul Karim (wafat 264 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Dawud bin Ali al-Ashfihani (wafat 270 H) dengan kitabnya yang berjudul A’lamun Nubuwah, Abu Dawud as-Sajastani (wafat 275 H) dengan kitabnya yang berjudul A’lamun Nubuwah, Ibnu Qutaibah Abdullah bin Muslim (wafat 276 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (wafat 277 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah.
Selanjutnya Ibrahim bin al-Haitsam al-Baladi (wafat 277 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Ibnu Abi ad-Dunia Abdullah bin Muhammad (wafat 281 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (wafat 285 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzani (wafat 295 H) dengan kitabnya yang berjudul Amaratun Nabi, Abu Bakar al-Faryabi Ja’far bin Muhammad (wafat 301 H) dengan kitabnya yang berjudul Dalail an-Nubuwah.