Kesuksesan Abu Hanifah sebagai ulama besar dan rujukan umat Islam dunia tidak lepas dari doa berkah Sayidina Ali bin Abi Thalib untuk anak-cucu Tsabit, ayah Abu Hanifah. Tsabit memang memiliki kedekatan dengan Imam Ali karramallahu wajhah melebihi orang pada umumnya.
Kedekatan leluhur Abu Hanifah dengan para pembesar Islam, termasuk khalifah keempat, sudah dibangun sejak masa Zutha, ayah Tsabit atau kakek Abu Hanifah. Namun, dalam riwayat lain dikatakan bahwa nama kakek Abu Hanifah bukan Zutha, melainkan Nu’man. Penjelasan mengenai nasab tersebut dapat ditemukan dalam kitab Abu Hanifah; Hayatuhu wa ‘Ashruhu ’Ara’uhu wa Fiqhuhu (halaman 15-16) karya Muhammad Abu Zahrah.
Menurut riwayat pertama, kakek Abu Hanifah yang bernama Zutha adalah seorang yang berbudi luhur kelahiran Persia, salah satu suku bangsa Iran. Di Persia, Zutha adalah penganut ajaran Zoroastrianisme atau agama Majusi, yang menyembah tuhan Ahura Mazda (Tuhan sang Bijaksana) dengan menjadikan api sebagai media ritual.
Setelah Islam berhasil menguasai Khorasan dan Persia melalui berbagai peperangan, banyak pembesar dan orang mulia berkasta tinggi yang ditawan. Termasuk di antaranya adalah Zutha. Beruntungnya, mereka ditawan oleh para pejuang Islam yang sejati dan dibebaskan dengan mudah oleh sang tuan. Penawan Zutha berasal dari tanah Arab, dari kabilah bani Taim bin Tsa’labah.
Tidak lama setelah pembebasannya, Zutha memutuskan untuk masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia hijrah dari Persia ke Kota Kufah di Irak. Di kota itulah pertemuan pertama antara Zutha dan Sayidina Ali bin Abi Thalib terjadi. Sejak itu, silaturahmi leluhur Abu Hanifah dengan Sayidina Ali terus berlanjut sampai ke Tsabit, putra kandung Zutha.
Zutha dan Imam Ali tidak hanya sebatas kenal, tapi sangat dekat sekali. Mereka sering berkirim hadiah dan doa-doa terbaik. Pada waktu perayaan Norouz, kakek Abu Hanifah pernah mengirimkan hadiah yang cukup mewah kepada Sayidina Ali, dan itu diterimanya dengan penuh kehormatan. Hubungan mereka sangat erat, seolah ada energi positif yang membuat keduanya begitu dekat.
Sepeninggal Zutha, tali silaturahmi ini terus dipegang kuat oleh Tsabit, putranya yang lahir setelah ia masuk Islam. Tsabit terus menyambung tali silaturahmi dengan Imam Ali karramallahu wajhah. Keduanya punya pertalian yang juga kuat sebagaimana ayahnya. Banyak riwayat menyebutkan bahwa pada salah satu pertemuan mereka, Imam Ali pernah memanjatkan doa untuk keberkahan anak cucu Tsabit. Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar mengabulkan doa itu dengan lahirnya seorang anak yang diberi nama Nu’man, yang kemudian dikenal sebagai Abu Hanifah.
Buah doa Sayidina Ali tersebut menjadi sasaran pujian para ulama. Ibnul Mubarak pernah mengatakan bahwa Abu Hanifah adalah rajanya para pakar fiqih dan tidak pernah bertemu dengan orang sekaliber dia. Yahya bin Sa’id al-Qahthan juga mengatakan bahwa tak pernah mendengar pandangan hukum terbaik selain dari Abu Hanifah, dan sangat banyak pendapatnya yang diterima dan diterapkan.
Kisah ini menunjukkan bahwa orang hebat tidak mungkin lahir dari benih dan rahim orang-orang biasa. Kalau pun tampak biasa, pasti perjuangan, tirakat, jiwa, dan kedekatannya dengan Allah tidaklah sederhana. Mereka pasti istimewa. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.