Nabi Muhammad saw membawa ajaran Islam di tengah bangsa Arab yang sudah mapan dengan akidahnya. Namun, agama yang mereka anut telah jauh menyimpang dari garis wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui Nabi Ibrahim as jauh sebelumnya. Inilah peran Rasulullah untuk meluruskan kembali sekaligus memperbarui akidah masyarakat jahiliah.
Agama Hanif Untuk memahami sejarah dakwah Nabi Muhammad saw secara utuh, kita tidak boleh melupakan kondisi sosial religius masyarakat Makkah saat itu, baik pada masa jahiliah maupun sebelumnya. Sebelum masa jahiliah, bangsa Arab telah menganut agama Hanif, yang merupakan ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Hal ini terjadi karena bangsa Arab adalah keturunan Nabi Ismail as, putra Ibrahim. Allah swt menegaskan dalam Al-Qur’an:
قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
Artinya: “Katakanlah: ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Ali Imran [3]: 95)
Kata ‘Hanif’ disebutkan jelas pada ayat di atas sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Dalam beberapa ayat lain, Allah swt juga menyebutkan kata tersebut, seperti dalam surat Al-An’am ayat 161 dan surat An-Nahl ayat 123.
Berdasarkan ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan umat Muslim untuk mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Sebab, ajaran Nabi Ibrahim sama dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, juz II, h. 66). Maksudnya, ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad sama dalam hal bertauhid, yaitu perintah untuk hanya menyembah Allah swt.
Setelah sekian abad berlalu, ajaran Nabi Ibrahim mulai mengalami banyak penyimpangan oleh pemeluknya sendiri. Agama yang dulunya hanya menyembah satu Tuhan kini tidak lagi. Praktik kemusyrikan semakin marak di kalangan masyarakat Arab. Kebodohan bangsa saat itu membuat mereka terjerumus dalam taklid buta kepada nenek moyang untuk menyembah berhala dan melakukan berbagai praktik kemusyrikan lainnya. Karena itulah Nabi Muhammad diutus.
Berhala Pertama Sebelum bangsa Arab terjerumus dalam kemusyrikan, mereka adalah bangsa yang berpegang teguh pada akidah yang bersumber dari wahyu Allah swt. Semuanya berubah ketika Amr bin Luhay bin Qam’ah (leluhur Suku Khuza’ah) membawa berhala pertama ke Makkah dan mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Berhala itu bernama Hubal yang ia bawa dari Syam.
Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menjelaskan bahwa Amr bin Luhay pergi dari Makkah menuju Syam untuk suatu kepentingan. Ketika tiba di daerah Maarib, di wilayah Balqa yang didiami suku Amaliq (keturunan Imlaq), Amr melihat orang-orang itu menyembah berhala dan bertanya, “Berhala-berhala model apakah yang kalian sembah itu?” Mereka menjawab bahwa mereka memuja para berhala untuk meminta hujan, dan berhala tersebut memenuhi permohonan mereka. Amr pun tertarik untuk meminta satu berhala bernama Hubal untuk dibawa ke Jazirah Arab dan disembah penduduk setempat.
Dalam versi lain, kemunculan berhala dipicu oleh faktor internal masyarakat Makkah sendiri. Dikisahkan bahwa ketika penduduk Makkah mengalami kesulitan, mereka akan pergi ke negeri lain dengan membawa batu-batu dari tanah suci Makkah sebagai bentuk penghormatan. Setelah sampai di tempat lain, mereka meletakkan batu tersebut untuk diputari, seperti saat thawaf mengelilingi Ka’bah.
Lambat laun, tradisi ini mengalami pergeseran paradigma dan penyimpangan makna. Sikap hormat yang berlebihan pada batu-batu tersebut berubah menjadi penyembahan berhala. Penyimpangan akidah semakin parah hingga ajaran-ajaran agama Nabi Ibrahim lenyap. Meski demikian, masih ada beberapa orang yang mengajarkan agama Ibrahim, seperti Qass bin Sa’idah al-Iyyadi, Ri’ab asy-Syinni, dan Buhaira sang Rahib.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh kelompok setia tersebut juga tidak lagi murni sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim. Misalnya, redaksi kalimat talbiyah mengalami reduksi sebagai berikut:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ. لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ إِلَّا شَرِيْكٌ هُوَ لَكَ. تَمْلِيْكُهُ وَ مَا لَكَ
Artinya: “Aku menyambut seruan-Mu ya Allah, aku menyambut seruan-Mu. Tiada sekutu kecuali sekutu yang Engkau miliki.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, juz I, h. 94-96).
Dalam catatan Ibnu Hisyam dijelaskan bahwa setelah penduduk Makkah meninggalkan agama Nabi Ismail, mereka menamai berhala-berhala dengan nama mereka sendiri, baik yang memiliki garis keturunan dengan Nabi Ismail maupun yang tidak. Contohnya adalah Hudzail bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar yang membuat berhala bernama Suwa’ dan Kalb bin Wabrah dari Qudha’ah dengan berhala bernama Wadd (Ibnu Hisyam, juz I, h. 97).
Demikianlah kondisi sosial religius bangsa Arab ketika Nabi Muhammad saw diutus. Masyarakat saat itu berada dalam penyimpangan agama yang serius, meskipun mereka pernah memiliki rekam historis keagamaan yang benar dengan memeluk agama Hanif. Tugas Nabi Muhammad adalah mengembalikan mereka ke dalam ajaran yang lurus.