Pasca wafatnya Nabi Muhammad, prinsip musyawarah dalam pemilihan kepala negara telah diterapkan dengan baik. Kaum Muslimin telah terbiasa mengedepankan ukhuwah Islamiyah, mendorong kesepakatan bersama (musawah), dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang terjadi sejak era kenabian.
Pada era khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), mekanisme musyawarah mengalami perkembangan sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Perdebatan yang terjadi di dalamnya merupakan hal yang wajar. Namun, para musyawirin mampu mengatasi perbedaan dengan bijaksana.
Khamami Zada (2018) mengutip Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, yang menyatakan bahwa pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah melalui proses terbuka. Proses ini dimulai dengan perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin, namun akhirnya Abu Bakar terpilih secara aklamasi. Ini merupakan praktik musyawarah mufakat, di mana Abu Bakar diberi gelar Khalifatur Rasul (pengganti Rasulullah).
Dalam sistem pemerintahan modern, seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), musyawarah dalam memilih pemimpin dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) secara langsung. Sebelumnya, Indonesia mengangkat pemimpin atau presiden melalui proses di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000) menjelaskan bahwa kata musyawarah berasal dari akar kata sy-, w-, r-, yang awalnya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat.
Musyawarah juga dapat berarti mengajukan atau mengatakan sesuatu. Istilah musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal positif, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan hanya manis, tetapi juga memiliki khasiat obat dan sumber kesehatan. Oleh karena itu, madu dicari oleh banyak orang.
Madu dihasilkan oleh lebah. Oleh sebab itu, yang bermusyawarah harus seperti lebah: makhluk disiplin dengan kerja sama yang mengagumkan, makanan dari sari kembang, dan hasilnya adalah madu. Di manapun lebah hinggap, ia tidak merusak. Ia tidak mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya dapat menjadi obat. Begitulah makna musyawarah dan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh pelakunya. Nabi Muhammad pun menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
Al-Qur’an mengajarkan prinsip musyawarah melalui firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 156)
Menurut Quraish Shihab (2000), ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad agar memusyawarahkan persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Namun, ayat ini juga menjadi pedoman bagi setiap Muslim, khususnya pemimpin, untuk bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan pentingnya sikap lemah lembut, tidak kasar dan tidak keras hati, serta saling memaafkan dalam bermusyawarah. Hal ini sangat relevan dalam memilih pemimpin melalui pemilihan umum di Indonesia. Sikap lemah lembut dan saling memaafkan seharusnya menjadi fondasi yang kuat untuk mempererat persaudaraan antarwarga negara.
Pemilihan pemimpin seringkali menimbulkan polarisasi konflik di masyarakat. Apalagi dengan adanya media sosial yang menyediakan ruang perdebatan secara luas. Gambar kasar dan keras hati mudah ditemukan dalam percakapan di media sosial terkait pemilihan pemimpin.
Oleh karena itu, di ruang media sosial yang bebas ini, masyarakat harus memegang prinsip-prinsip musyawarah yang diajarkan Al-Qur’an agar pengetahuan dan wawasan mereka tetap luas. Mereka harus mampu menyaring informasi agar tidak terpengaruh oleh berita bohong yang berpotensi memecah belah umat. Pemimpin terpilih haruslah menjadi pemimpin bagi seluruh warga negara, bukan hanya golongan tertentu.