Piagam Madinah, yang juga dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah, memiliki semangat persatuan dalam pengelolaan negara di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Ketika hijrah ke Yatsrib (Madinah), harapan masyarakat setempat adalah agar Nabi dapat menyatukan bangsa yang selama ratusan tahun terjebak dalam konflik antar-suku.
Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Piagam Madinah tercermin jelas dalam 47 pasal konstitusi tersebut. Pasal pertama menyatakan bahwa sesungguhnya mereka adalah satu umat, berbeda dari komunitas manusia lainnya.
Pasal-pasal yang mengatur hak asasi menekankan adanya kesetaraan hak dan kewajiban antara kaum Muhajirin, Anshar, dan suku-suku lainnya seperti Suku Auf, Bani Saidah, Bani al-Harits, dan Bani Najar. Salah satu contohnya terdapat pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa Bani Auf akan saling membantu membayar diyat dan setiap suku harus membayar tebusan tawanan secara adil di antara Mukminin.
Poin yang sama juga terdapat dalam Pasal 2 yang berlaku untuk Kaum Anshar dan Muhajirin serta diulang pada Pasal 10 mengenai Bani Al-‘Alws.
Selain itu, Piagam Madinah mencakup pasal-pasal yang menekankan persatuan seagama. Setiap orang yang beriman dan bertakwa diharapkan menentang segala bentuk kezaliman, pelanggaran ketertiban, penipuan, dan permusuhan di kalangan masyarakat beriman.
Salah satu pasal yang penting adalah Pasal 25, yang menyatakan bahwa Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan Mukminin. Masing-masing kelompok memiliki agama mereka sendiri, kecuali bagi mereka yang zalim dan jahat, karena hal tersebut dapat merusak diri dan keluarga.
Nabi Muhammad tidak hanya membina persaudaraan di antara umat Islam atau ukhuwah Islamiah, tetapi juga ukhuwah wathaniyah, yang mengajak seluruh penduduk Madinah dari berbagai suku dan agama untuk menjaga keamanan kota. Mereka diharapkan bersatu dalam mempertahankan Madinah dari ancaman luar.
Dari substansi Piagam Madinah, terlihat bahwa Nabi Muhammad berupaya membangun persaudaraan antar sesama umat manusia atau ukhuwah insaniah. Nabi memberikan inspirasi kepada umat Islam dalam membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama. Meskipun demikian, nilai-nilai Islam tetap menjadi landasan dalam praktik kepemimpinan Nabi saat itu.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, sistem pemerintahan terus berkembang. Rasulullah mendirikan negara berdasarkan kesepakatan dan perjanjian di Madinah. Ia memimpin umat untuk berkomitmen dalam kebersamaan yang diatur dalam Piagam Madinah. Namun, Nabi tidak pernah menetapkan aturan baku mengenai bentuk negara. Meskipun begitu, bentuk pemerintahan di Madinah tetap menjadi sumber inspirasi bagi generasi selanjutnya.