Liku perjalanan dakwah Islam pada masa Rasulullah saw diwarnai dengan peperangan. Para sejarawan mencatat setidaknya 64 peperangan terjadi selama periode tersebut. Dari semua peperangan, 26 di antaranya melibatkan Rasulullah secara langsung di medan perang, sementara 38 lainnya dihadapi oleh sahabat yang diutus sebagai panglima perang. Peperangan yang melibatkan Rasulullah langsung dinamakan ghazwah, sedangkan yang tidak melibatkan beliau disebut sariyyah.
Dari jumlah peperangan yang ada, muncul pertanyaan apakah Islam dapat disimpulkan sebagai agama yang identik dengan kekerasan, pembantaian, dan stigma ekstrem lainnya. Apakah peperangan-peperangan tersebut menginterpretasikan Islam sebagai agama yang demikian?
Pada zaman dahulu, perang sering digunakan sebagai instrumen dakwah Islam. Jika perang ditafsirkan sebagai bentuk kekerasan, maka dakwah Islam saat itu dapat dianggap penuh dengan ekstremisme. Dengan kesimpulan ini, Islam dapat dilihat sebagai agama yang kejam, bukan ramah sebagaimana sering dikatakan. Apakah benar demikian?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai peperangan pada zaman Rasulullah, penting untuk melihat fase dakwah di Makkah yang berlangsung selama 13 tahun. Salah satu ciri dari dakwah periode ini adalah umat Islam mengalami tekanan dan penindasan yang berat, bahkan tidak jarang mengalami pembunuhan oleh orang-orang kafir Quraisy. Rasulullah sendiri mengalami penindasan, dan banyak sahabat yang harus menerima siksaan atau bahkan kehilangan nyawa demi mempertahankan keimanan mereka.
Sebagai contoh, Al-Mubarakfuri dalam Rahiq al-Makhtum menceritakan kisah keluarga Ammar bin Yasir yang mengalami penyiksaan mengerikan. Di tengah teriknya kota Makkah, mereka diseret dan dibaringkan di atas debu panas yang membakar kulit mereka. Ayah Ammar, Yasir, tewas dalam penyiksaan itu, diikuti ibunya, Sumayyah, yang juga meninggal setelah mengalami penyiksaan berat oleh Abu Jahal.
Khabbab bin al-Arat, seorang budak, dilempar ke dalam api yang menyala-nyala hingga tubuhnya terbakar. Masih banyak kisah penindasan lain yang tidak kalah tragis. Namun, umat Muslim tidak melakukan perlawanan. Rasulullah mengajarkan kesabaran dan tidak membalas dendam.
Perang diperintahkan sebagai instrumen dakwah setelah Rasulullah hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Syariat perang berdasarkan wahyu dari Allah swt. sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 39. Penting dicatat, syariat ini bukanlah kewajiban tetapi sebatas diperbolehkan. Sebelum ayat ini turun, umat Islam dilarang memerangi orang kafir meskipun banyak kejahatan dilakukan oleh mereka.
Turunnya ayat ini merupakan respons atas kekejaman kafir Quraisy yang sudah melampaui batas. Umat Muslim diperbolehkan memerangi lawan hanya untuk mempertahankan diri dari serangan, bukan untuk memulai peperangan. Dr. Abdul ‘Adzim dalam Samâḫatul Islâm menjelaskan bahwa tujuan syariat perang adalah untuk menghentikan kezaliman dari orang Quraisy, menjaga martabat umat Muslim, dan menegakkan pilar-pilar agama.
Setelah hijrah ke Madinah dan mendapat izin berperang, umat Muslim mulai mengirim brigade dan pasukan kecil untuk misi dakwah di wilayah tertentu. Namun, dari semua perang tersebut, tidak ada satu pun yang menyebabkan pertumpahan darah kecuali Brigade Nakhlah, di mana terjadi pertempuran dengan satu orang kafir terbunuh dan dua tawanan perang. Rasulullah memberi teguran atas insiden ini dan meminta agar tawanan dilepaskan serta diyat dibayarkan untuk korban.
Pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, sebelum perang Badar Kubra, turun wahyu yang menginstruksikan wajib berperang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 190. Hukum wajib ini muncul karena kondisi umat Muslim yang semakin terdesak dan intimidasi dari kafir Quraisy yang semakin masif. Jika umat Muslim tidak melakukan perlawanan serius, mereka akan menghadapi kehancuran.
Syariat perang tidak langsung diwajibkan; awalnya hanya diperbolehkan agar umat Muslim dapat mempersiapkan diri secara mental dan militer. Setelah mereka matang dalam persiapan, barulah datang wahyu perintah untuk berperang.
Meskipun perang sudah menjadi kewajiban, bukan berarti umat Islam diperbolehkan untuk bertindak sembrono atau balas dendam. Rasulullah mengajarkan pendekatan damai ketika mengajak orang kafir untuk masuk Islam; jika mereka menolak, beliau tidak menyiksanya. Beliau percaya bahwa urusan siksa adalah hak Allah di akhirat dan tugasnya hanya menyampaikan ajaran Islam.
Dalam berperang, umat Islam juga harus mengikuti aturan ketat selama perang, termasuk larangan merusak tumbuh-tumbuhan dan membunuh orang lemah serta perempuan; tujuan utama adalah untuk menegakkan agama Allah. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat menyebabkan kekalahan pada pasukan Muslim sendiri, seperti dalam peristiwa perang Uhud di mana pasukan pemanah tergiur harta rampasan dan menyebabkan kekalahan bagi pasukan Muslim.
Demikianlah kilas sejarah peperangan pada zaman Rasulullah. Peperangan pada saat itu lebih merupakan media dakwah dalam kondisi umat Islam yang terdesak. Perang menjadi satu-satunya cara untuk mempertahankan akidah dengan tetap mengikuti aturan yang mencerminkan nilai-nilai kerahmatan dalam Islam. Meskipun ada konflik bersenjata, prinsip cinta dan kasih tetap menjadi inti ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin.